What Makes Leeds Beautiful : L- An Outro
Suatu waktu dulu aku pernah begitu membenci matahari.
“Now I’d do anything just to have another sunny day.” Gumamku begitu mematikan alarm dan melihat gradasi abu-abu di luar jendela kamar. Pasti mendung lagi hari ini. “Lara?”
“Yeah.” Lara menjawab dari kamar sebelah. Seperti biasa sahabatku sejak dua tahun lalu itu sudah bangun lebih dulu, pasti sedang memeriksa e-mailnya. “Heavy rain at one pm, and cloudy for the rest of the day. 13 to 17 degree celcius. “ tambahnya sebelum aku bertanya.
Aku terkekeh, “Thanks, you’re getting good at this; I don’t even need to ask.”
“That does not mean I’m not annoyed.”
“But you love me. You’d check the weather forecast every morning for me, it makes me happy.”
Lara tidak menjawab.
“Right?” kejarku.
“That’s a stupid question, Ava.”
“Rhetorical question.” Lawanku.
“Yes rhetorical and stupid.” Potongnya. “We've shared a roof for two years and I am still here reading weather forecast for you. You know the answer, now quit talking and start your day, it’s 9 am already you lazy woman.”
Aku bangkit dan masuk kamar mandi yang berhadapan dengan kamarku dan Lara yang bersebelahan. Sekilas kulihat perempuan British berdarah setengah Irlandia itu sedang duduk di meja kerjanya. Laptopnya tampak terlalu modern berada diantara ribuan benda etnik di kamar Lara yang sejak setahun lalu menekuni dunia aksesoris dengan serius dan sudah mulai memiliki pasarnya sendiri. Profesinya itulah yang menjelaskan potongan perca warna-warni dan manik-manik dalam seribu satu bentuk dan jenis yang berserakan di kamarnya. Hari ini ia mengenakan salah satu kreasinya sendiri membelit rambut platinanya yang panjang, sebuah bandana berwarna hijau zamrud dengan manik-manik hijau menyala, “Hey, you’re wearing my favourite bandana.” Komentarku. Aku menyukainya sejak awal Lara membuat bandana itu.
Lara hanya tersenyum lalu bangkit, dan berjalan kearah tangga, “Coffee or tea?”
“Neither.” Jawabku.
“Ryan?” tanya Lara sebelum melangkah turun.
Aku mengangguk, “Who else, I’m meeting him for coffee in an hour.”
“Where?”
“The Opposite.” Aku membungkuk mengambil handuk bersih dari rak di bawah wastafel dan menyadari Lara masih diam mengamatiku waktu aku bangkit. “What?”
“You alright?”
Aku diam sebentar meraba perasaanku, “I don’t know. I think I’m fine. “
Lara terus menatapku dengan mata birunya, “Sure?”
Aku mengangguk, “I’ve been worse.”
Pada kenyataannya sampai aku duduk sendirian di teras The Opposite, dengan segelas cappuccino dan chocolate fudge cake kesukaanku, perasaanku masih belum jelas. Kutatap potongan besar cake cokelat dengan krim cokelat dan taburan cokelat serut itu, teringat mitos yang mengatakan bahwa cokelat akan bisa memperbaiki mood yang berantakan.
“This should do.” Desahku mulai menyuapkan potongan pertama ke mulutku sambil memperhatikan Parkinson Building yang jadi kebanggaan University of Leeds di seberang jalan. Gedung besar bergaya Victoria berwarna krim dengan pilar-pilar tinggi itu masih tampak megah dan klasik. Pertama kali melihatnya aku menyangka umur gedung tersebut sudah ratusan tahun, ide kuliah di dalam gedung yang sangat bersejarah sempat membuatku terserang euphoria. Jadi waktu kemudian Ryan dengan terkekeh-kekeh berkata bahwa umur gedung itu baru 58 tahun, aku dengan emosi menggebuk bagian belakang kepalanya.
“AW!” protesnya, “Kok digebuk sih? Saya kan cuma kasih tau kamu fakta!”
“Diem kamu ngerusak mimpi saya, dasar menyebalkan! Selama ini saya selalu berpikir bahwa sekali aja di seumur hidup saya, saya pernah belajar dalam sebuah gedung yang sangat kuno dan menyimpan sejarah…Sekarang saya kembali jadi seseorang yang nggak punya kenangan apapun tentang belajar dalam gedung bersejarah dan semuanya gara-gara kamu!!!!”
“Yehhhhh! Salahin itu tuan Parkinson tuh, kenapa baru kepikiran ngebangun Parkinson Building tahun 1951…Jangan salahin saya dong! Lagian, aneh. Yang udah tiga tahun disini kan kamu. Yang udah beres ambil master disini dua tahun lalu kan kamu. Yang harusnya ngasih tau saya tentang sejarah Parkinson Building kan kamu. Eh…ini malah saya yang baru dateng seminggu lalu yang ngasih tau kamu, kebalik.” Repetnya nyinyir, “DIGEBUK PULA!!”
“Bla bla bla. Brisik.” Komentarku pendek dan menepak kepalanya sekali lagi. “Dasar mental jurnalis nggak bisa diem dikit. Emang harus ya dimanapun kamu berada, mencari-cari fakta tentang tempat itu?”
“Ava, cut it off!” jawabnya kesal. “It’s in my blood, there’s nothing you can do about it!” Lalu waktu melihat aku hampir menepak kepalanya lagi dia menangkap tanganku dan menarik rambutku sebagai balasan. Sesuatu yang selalu dilakukannya setiap kali kesal padaku sejak sore itu.
Sesuatu yang selalu dilakukannya sejak sore itu dan mungkin akan membuatku rindu.
Seseorang menarik rambutku, mengembalikanku ke masa kini, “Jangan kaya orang susah gitu mukanya, mbak.”
Aku merengut, “Muka kamu tu kaya orang susah! Udah gondrong, kurus, kurang tidur, begadang melulu…mau jadi apa?”
Ryan tidak menjawab dan mencomot cake ku dengan santai, lalu menyalakan rokok dan menghirup café Americano pesanan standarnya.
Pesanan yang sama sejak pertemuan pertamaku dengannya, waktu itu Ryan diajak teman-temanku dari PPI Leeds untuk datang ke the Opposite. Komentarku waktu mendengar namanya adalah: “Nama kamu bagus.”
“Are you trying to hit on me?”
“What? No I’m not.” jawabku sewot.
Dia mengangkat bahu, “You just compliment my name.”
“Because it reminds me of my brother’s name!” salakku. “Yang ada saya malah jadi males.”
“Baguslah.”
“Bagus?”
Dia mengangguk, “Iya, bagus. Saya juga bosen ditaksir melulu.”
Dia selalu mengesalkan.
Ryan menggebrak meja sedikit, membuatku kaget, “So.”
“Monyet. Kaget nih!” makiku menoyor kepalanya.
Ryan memutar bola matanya dan mencondongkan tubuh ke arahku, “I still think Leeds is beautiful.”
Ah lagi, perdebatan yang takkan ada akhirnya. “I still think Leeds sucks big time.” Balasku pendek.
“That’s why we’re here. Today.” Katanya berdiri, “Ayo.”
“Kemana?” aku bertanya curiga, tidak bergerak dari dudukku.
“I want to show you what makes Leeds beautiful.”
“Where?”
“Ava please.” Ryan menarik tanganku, “Could we just go?”
“Ryan, please.” Aku meniru intonasinya sambil berdiri juga akhirnya, “Kamu kan tau saya paling nggak suka pergi-pergi tanpa tau dengan jelas kemana kita bakal pergi.”
“Kamu tau dengan jelas kemana kita bakal pergi, kita bakal pergi ke ngeliat apa yang membuat Leeds istimewa.” Jawab Ryan lalu mengangkat tangannya waktu melihat aku hampir menjawab lagi, “Pertama, kita bakal pergi ke York.”
“What? Why?”
“Karena kota kecil duapuluh menit dari Leeds itu begitu indah dengan bangunan-bangunan tua dan toko-toko kecilnya…”
“Bisa nggak kasih penjelasan yang beda sama yang kamu kasih buat ribuan pembaca kolom kamu itu?” tukasku sebal, yang Ryan tadi ucapkan adalah line pembuka artikel tentang York yang dia tulis tahun lalu untuk kolomnya di salah satu majalah nasional Indonesia. Aku hafal, entah kenapa.
“Karena saya janji traktir kamu apa yang mereka bilang the best scone ever .” Ryan sekali lagi mengangkat tangannya menghentikan bantahanku, “Dan no, jangan bilang ‘kan bisa ntar-ntar, Yan’ seperti yang biasa kamu lakukan karena itu lah yang membuat kita hari ini, tujuh bulan sejak saya menjanjikan hal itu ke kamu, belum juga melakukannya. Hari ini saya nggak akan membiarkan kamu memanipulasi saya seperti biasa. We’re going there.”
“Why?”
“Because I’m leaving Leeds tomorrow.”
“No, I mean why did you call me ‘manipulative’?”
Bukannya menjawab dia malah mengatur posisi berdiriku dan melangkah menjauh sedikit, lalu mengeluarkan kamera nya dan memotretku.
“Apa-apaan sih kamu?” ujarku gemas. “Udah ayo berangkat ke York, serah deh mau kemana, asal berhenti memperlakukan saya sebagai objek!”
Ryan terkekeh mengikutiku, pasti merasa sungguh bangga bisa membuatku mengiyakan ajakannya ke York, “Saya nggak memperlakukan kamu sebagai objek, Ava. Saya memperlakukan objek-objek ini,” dia menunjuk sign The Opposite, kursi-kursi dan meja-meja di belakangku, “Sebagai objek. Sementara kamu, saya memperlakukan kamu sebagai ‘pemanis’.”
“SERAH! Jawab aja terus.”
Ryan sedang dalam mood yang bagus hari ini, yang adalah berarti dia punya energi tak berkesudahan untuk menggangguku, apapun yang terjadi. Saat membeli tiket di Leeds train station, di dalam kereta menuju York, di York train station, dia selalu memotretku. Satu yang kupelajari setelah setahun mengenal manusia tengil ini adalah, untuk jangan pernah menginformasikan apapun itu yang bisa membuatku irritated karena dia justru akan melakukannya. Dia selalu memasang lagu-lagu Moonpools & Catterpillar untuk menggangguku, lalu menyeretku ke Little Tokyo yang notabene adalah restoran sushi terenak di Leeds— karena dia tahu aku benci sushi, dan memotretku karena dia tahu aku benci dipotret.
Annoying.
Bahkan sampai kami berdua duduk manis di Bettys café Tea Room, dia masih terus memotretku dan selalu menggunakan jawaban ‘But it’s my last day here’ untuk membungkam protes-protesku.
Annoying. Super annoying.
Satu set Bettys Traditional Afternoon Tea tiba di meja kami dan tatapan merengutku pada Ryan berhenti karena satu teko teh, dua buah scone dan setumpuk sandwich yang terhidang dihadapan kami membuatku merasa harus memberikan instruksi, “Kamu yang makan semua sandwich nya kecuali yang isi smoked Scottish salmon.”
“Jadi kamu yang makan smoked Scottish salmonnya?”
“Bukan, orang di meja sebelah kita yang bakal makan itu.” Tukasku judes, “Ya iyalah saya, siapa lagi! Dan sultana scone nya dua-duanya buat saya.”
“Kenapa?”
“Karena kamu mengesalkan dan kamu janji mau traktir saya the best scone ever.” Jawabku datar lalu mendekatkan wajahku ke wajahnya di hadapanku, “Saya mau dua best scone ever dan nggak hanya satu. Ngerti?”
Ryan tidak menjawab, malah mundur sedikit dan dengan cepat memotretku.
“Ryan!”
Dia tertawa, “Haha, kamu cocok main film mafia kaya The Eastern Promise, Va.”
Aku mengangkat bahu, “Terserah, sana main kamera sesuka kamu. Saya mau makan. By the way, film tentang mafia mah udah nggak jaman! Ini 2009 bung, it’s the year of terrorism movies.”
“Itu sih trend nggak hanya di film, Va, di dunia nyata juga, bukan?”
Akhirnya aku berhasil mengalihkan perhatian Ryan sebentar. Ketidak sengajaanku mengucapkan kata ‘terorisme’ menghasilkan Ryan yang mengoceh panjang lebar soal sejarah terorisme dan teori-teorinya selama kami makan. Not a fun topic, but at least he stopped taking pictures for an hour.
Sambil makan aku memperhatikan ekspresinya yang selalu sama setiap kali membicarakan hal-hal seperti ini. Matanya berbinar-binar dan begitu ekspresif, seolah sedang membicarakan hal lain yang tidak menyeramkan sama sekali.
Orang yang aneh.
Tapi satu setengah jam kemudian, kembali di Leeds dan tiba di Kirkstall Abbey, tentu saja Ryan sudah kehabisan bahan soal terorisme dan aku sudah kehabisan pertanyaan untuk membuatnya terus bicara, jadi perhatiannya kembali pada sang kamera kesayangan.
Puing-puing bangunan tua yang dulunya adalah biara untuk suatu ordo Katolik bernama Cistercians ini pernah kudatangi tiga tahun lalu, pertama kali aku tiba di Leeds. Kirkstall Abey yang ada dalam ingatanku tidak jauh beda dengan apa yang kulihat sekarang. Bedanya hanya dahulu aku ada disini pada saat mendung, kali ini matahari bersinar cerah, membuat warna hijau rumput dan pepohonan yang menjadi latar puing-puing tersebut menjadi jauh lebih hidup. Tentu saja ini membuat Ryan sang fotografer kegirangan. Dia terus menerus menyuruhku untuk ‘coba berdiri disana’, coba duduk disitu’, dan ‘coba nyender di pilar itu’ sambil terus memotret-motret. Yang terakhir soal pilar langsung ku tolak mentah-mentah, “Kamu mau bikin foto saya dengan konsep tahun sembilanpuluhan apa??”
“Bukan.” Jawabnya menahan tawa, “Konsep gadis sampul tahun sembilanpuluhan.”
“Kurang ajar.” Makiku sekali lagi menyesali kegoblokanku dahulu menceritakan bagaimana acara model-modelan itu menurutku adalah eksploitasi perempuan yang keterlaluan pada Ryan. “Saya nggak ngerti kenapa tempat ini begitu berarti buat kamu, by the way. Puing-puing kaya gini kan ada juga di York…”
“Iya, tau.” Kata Ryan sambil mengutak-ngatik sesuatu di kameranya sebelum berjalan ke pintu masuk untuk memotret keseluruhan lorong panjang tempat kami sedang berdiri. “Emang kenapa?”
Aku mengangkat bahu, “I don’t know…Cuma aja seindah-indahnya tempat ini, belum cukup untuk bisa dijadikan argument melawan statement saya bahwa Leeds sucks.”
“Iya, tau.”
“Lah, trus? Katanya tadi mau nunjukin ‘what makes Leeds beautiful’?”
“Sabar deh, saya kan nggak bilang bahwa what makes Leeds beautiful itu cuma satu tempat!” tukas Ryan gemas, “Bawel.”
Aku manyun, “Astaga, jadi bakal berapa lama kita muter-muterin Leeds?”
“Masih lama.” Jawabnya pendek.
“Hah! Dan kamu pasti akan menggunakan alesan ‘but it’s my last day here’ setiap kali saya cape.”
Ryan tidak menjawab.
“Whatever, saya yakin at the end of the day pasti saya bakal masih mikir Leeds sucks.” Desahku.
Perhentian berikutnya adalah Leeds city museum, yang harus kuakui memang bagus dan adalah satu dari sedikit hal yang kubanggakan dari Leeds. Dibangun tahun 1862, Leeds city museum pernah mengalami kerusakan parah karena serangan udara pada perang dunia kedua. Dua dari tiga mumi yang dimiliki museum tersebut hancur tak bersisa, menyisakan hanya satu mumi di bagian Ancient Worlds di lantai paling atas.
“Kenapa sih kamu suka sekali bagian ini?” tanya Ryan selagi kami, untuk entah keberapa puluh kalinya, menyusuri Ancient Worlds section.
“Karena disinilah pertama kalinya saya melihat wajah dia.” Ujarku menunjuk sculpture mini wajah Dynosius.
Ryan menatapku geli, “The God of Wine, tentu saja.”
Aku ikut tertawa, tanpa sengaja teringat suatu sore empat bulan yang lalu.
“Kamu kenapa sih, Va? Pucet.”
“Sakit kepala.”
“Terlalu stress, tu pasti.”
“Mungkin. PMS juga sih.”
“Minum obat sih.”
“Nggak mau. Saya nggak suka pain killer. KIMIA.”
“Mau ke tempat saya, saya masakin?”
“Nggak.”
“Kenapa?”
“Karena saya lagi sakit kepala dan saya cranky. Kalau saya ke Kelso, saya bakal harus nemuin teh Dayce, Kang Kemal, Arrya sama Beni.”
“Ya iyalah since they live there also.”
“IYA! Tapi itu berarti mereka bakal kena efek cranky saya dan saya nggak mau bikin mereka bete.”
“Tapi kalau bikin saya bête nggak pa-pa?”
“Ya kalo nggak mau ikutan bete NGAPAIN ADA DISINI! Sana pergi.”
Satu jam kemudian Ryan datang ke perpustakaan, menyeretku keluar dan duduk di taman, lalu mengeluarkan wine Domini Veneti kesukaanku dan berkata, “Kalau minum obat nggak mau, dimasakin nggak mau, setidaknya minum ini sedikit bakal bikin sakit kepala kamu mendingan kan.”
“Satu botol? Saya kan udah bilang saya suka wine tapi nggak suka mabuk.”
“Ya ini kan buat barengan, Ava. Lagian kamu nggak usah abisin, saya cuma pengen liat aja apakah ini bisa meredakan sakit kepala kamu atau nggak.” Dia lalu mengeluarkan dua gelas wine dan menjelaskan sebelum aku sempat bertanya, “Jangan komentar, yang punya abnormally high appreciation to wine disini adalah kamu, bukan saya. Yang bilang bahwa minum wine dari gelas plastik adalah ‘big crime’ disini adalah kamu, bukan saya. Jadi satu-satunya alasan kenapa saya repot-repot bawain dua gelas ini kesini sekarang adalah kamu, bukan saya.”
“Thanks.”
“That’s ok. This is what friends are for.”
“Va.” Panggilan Ryan mengembalikanku ke masa kini.
“Yeah?”
“Mau ngopi di bawah?” ajaknya. Ryan adalah satu dari sedikit orang yang bukan saja tidak menganggap kecanduanku pada kopi sebagai sesuatu yang aneh, tapi juga sanggup mengimbangiku.
“Di the Tiled Hall aja yuk?” ajakku.
Ryan mengangguk dan sepuluh menit kemudian kami sudah duduk berhadapan dengan secangkir cappucinno untukku dan Americano untuknya, di dalam sebuah salah satu café favoritku di Leeds. Cafe ini terletak di dalam Leeds city library yang jaraknya hanya sekitar seratus meter dari Leeds city museum, dengan interior klasik khas Inggris yang dipertahankan sejak dibangun tahun 1884. Aslinya ruangan tempat aku dan Ryan duduk sekarang adalah ruang baca, sempat dijadikan ruang pameran sculpture, dan akhirnya menjadi cafe sejak tahun 1999. Tebak darimana aku tahu sejarah The Tiled Hall? Tentu saja dari laki-laki yang sedang duduk dihadapanku ini, yang sedang menyenandungkan lagu entah apa sambil menyesap kopinya.
Aku melawan matanya yang intens menatapku selama beberapa menit, “Apa?”
“Judes.” Komentarnya.
“Banyak komentar.” Balasku. “Lagian kamu ngeliatin saya gitu amat, horror. Awas kalau mikirin yang jorok-jorok.”
Ryan terkekeh, “Dosa lho berprasangka buruk terus.”
“Mikirin yang jorok-jorok juga dosa.”
“Yeh siapa yang mikirin yang jorok-jorok orang lagi mikirin makanan.”
“Heh dasar kurang ajar, ngeliatin saya malah mikirin makanan!” makiku kesal. “Pasti mau nyeret saya ke tempat sushi itu lagi kan? OGAH!”
Tatapannya melembut, “Nggak kok. Kita ke Tong Palace aja.”
Aku terkejut, “Well, well...rencana pulang bisa membuat seseorang berubah begitu drastis deh. Nice! Saya bahkan nggak usah memohon-mohon dulu buat bikin kamu mau makan disana! PERFECT!”
“Kamu beneran nggak suka sushi, emang, Va?”
Untuk seribu satu alasan, kopi yang kuminum masuk ke jalur yang salah, membuatku tersedak. Alasan terbesar adalah pertanyaan Ryan barusan, tentu saja.
Ryan memijit tengkukku, “Va, are you okay?”
Aku mengangguk sambil menghapus air mata yang bercucuran.
Lalu Ryan tidak berkata apa-apa lagi dan aku tahu dia menunggu jawabanku. Detak jantungku sedikit mengencang sembari aku menimbang-nimbang apakah kali ini, setelah sekian lama aku selalu menghindar, harus kuhadapi pertanyaannya.
Sejak aku tahu profesinya, lalu kemudian sifatnya, aku tahu takkan butuh waktu lama untuk Ryan mengetahui latar belakangku. Mengetahui siapa aku, keluargaku, sekolahku, profesiku dahulu, dan tentu saja cerita tentang Rei. Sejauh apapun jarak antara Inggris dan Indonesia, untuk mengetahui berita tentang seseorang tidaklah sesulit itu, apalagi ditunjang dengan keahlian seperti yang dimiliki Ryan. Aku tahu dia tahu, hanya aku tidak pernah tahu sejauh mana dia tahu, dan rasanya aku tidak mau tahu sejauh apa dia tahu.
Aku menatapnya lama dan tidak juga bisa memutuskan apa yang harus kulakukan sampai kudengar suaraku sendiri berkata, “Nggak, saya suka sushi kok.”
Jangankan Ryan, akupun terkejut menyadari langkah besarku ini. Bisa kulihat otot-otot rahangnya mengeras karena tegang dan dia menelan ludah dua kali sebelum mengajukan pertanyaan berikutnya, “Dan kamu juga suka Moonpools?”
Sedikit, tapi bisa kudengar suaranya bergetar.
Aku mengangguk, “Cut it off, Yan. You know everything. Why don’t we just talk about it as it is?”
Diam.
“Why don’t you talk about it as it is, for a change?” ujar Ryan akhirnya.
Aku menghela nafas, nyaris tidak percaya bahwa aku akan benar-benar mengatakannya, “The only reason why I hate sushi and moonpools is because they remind me of the love of my life who died three years ago.”
Lama sekali sampai akhirnya Ryan berdehem, aku tidak bergerak, hanya menunggu apa kira-kira yang
akan dikatakannya.
“Jadi...”
Ryan berhenti sejenak dan aku harus berusaha keras untuk tidak menepak kepalanya dan berkata ‘NGOMONG CEPETAN JANGAN LAMA-LAMA!!’ seperti biasa.
“Jadi kamu juga sebetulnya suka di foto ya?”
Nada menggoda dalam suaranya membuat tawaku meledak dan aku benar-benar menepak kepalanya kali ini, “Monyet!”
Ryan ikut tertawa, “Lho, kan saya cuma nanya!”
Aku meneguk kopiku dan menghela nafas lagi, “Nggak. Sumpah. Saya nggak suka di foto.”
Sepertinya dia tidak mengerti bahasa Indonesia karena Ryan masih tetap membidikku dengan kameranya.
“Ryan, saya beneran nggak suka di foto.”
“But it’s my last day here!”
Aku menggeram, “Ya udahhhhhhh, terserah!”
Sampai kopi kami habis Ryan masih tetap memotret-motret dan aku tidak terlalu mempedulikannya.
Otakku terlalu sibuk memikirkan pembicaraan kami barusan, ternyata sesuatu yang kutakuti selama ini tidaklah semenyeramkan itu. Baik reaksi Ryan maupun perasaanku, ternyata tidaklah seburuk yang kukira. Tidak kusangka akan ada harinya dimana aku bisa bicara tentang apapun yang kualami tiga tahun lalu tanpa tersedu-sedu.
Tentu saja aku masih merasakan perih yang begitu familiar di ulu hatiku, nafasku masih sedikit berat mengingat sosok itu dan istilah ‘merelakan’ belum sepenuhnya bisa kupahami lebih baik dari istilah ‘menyesali’. Mataku masih terasa panas dan harapan untuk bertemu Rei lagi masih terasa jelas.
Dan parade penyiksaan ini masih ditutup dengan perasaan paling menyakitkan diatas semuanya: perasaan tidak berdaya, menyadari sepenuhnya bahwa aku tidak bisa melakukan apa-apa. Sebagaimanapun aku masih merindukan dia, sekeras apapun aku mintakan kembali kehadirannya, Rei sudah tak ada.
Semua masih sama.
Hanya saja kali ini tidak ada air mata yang jatuh, dan ini adalah kemajuan yang berarti. Mungkin karena Ryan juga tidak memaksaku untuk memberi penjelasan lebih jauh soal hal itu dan malah melontarkan joke bodoh yang seolah tidak pada tempatnya. Joke bodoh yang sesungguhnya sangat-sangat pada tempatnya.
“Kalau Tong Palace?” pertanyaan Ryan membuyarkan pikiranku. Tanpa kusadari kami sudah berdiri di hadapan restoran cina favoritku itu di Vicar Lane road.
“Kalau Tong Palace...?” ulangku bingung. “Kamu ngomong apa sih?”
“Could Tong Palace be a good enough reason to change your statement about Leeds?” Tanya Ryan.
Aku berpikir sebentar, “Tong Palace could change ‘sucks big time’ to ‘not too bad’, but I definitely won’t change it to ‘beautiful’.”
“You are just hard to please.”
“Indeed.” Jawabku singkat dan masuk ke dalam, langsung memesan seporsi roast duck, kangkung cah bawang putih dan nasi begitu duduk.
Tough one sebetulnya, “Tong Palace akan masuk lima besar kalau saya harus bikin list alasan saya bisa bertahan disini sampai hari ini. This place would be one of my heroes.”
Ryan mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari kameranya, tetap memotretku dari tempatnya duduk, “Sama, saya juga.”
Pelayan datang membawakan pesanan kami dan Ryan menyapa, “Excuse me, could I have a small plate of chopped chilli?”
Tanpa bisa kutahan aku tersenyum, tahu bahwa dia meminta cabai rawit itu untukku, “Makasih ya, so sweet deh.”
“Makasih ya, so sweet deh.” Dia mengulang ucapan terimakasihku dengan mengesalkan.
Aku melotot dan mencondongkan tubuhku ke arahnya sambil mengangkat tangan kananku, mengancam hendak menepak kepalanya lagi. Ryan hanya terkekeh dan berkata, “Don’t.”
“Why not?”
“Because I’m sweet and you like me.”
Aku menghela nafas dan bersandar kembali, “Yeah, I kind of like you.”
“I never try to find out about it, you know.” Balasannya sungguh tidak relevan.
Tapi aku mengerti apa yang dia bicarakan, “Really, why? That doesn’t sound like you.”
Ryan mengangkat bahu, “Saya suka mencari tahu, memang. Tapi saya juga termasuk orang yang sangat mementingkan narasumber...Dan dalam hal ini, saya nggak mau tau apapun kecuali dari kamu.”
Aku terdiam agak lama, “Apa yang kamu pengen tau?”
“Apapun yang menurut kamu perlu saya tau.”
Aku mengangguk, “Oke.”
Lalu diam lagi.
“Nggak harus saya kasih tau semuanya sekarang, kan?”
Ryan menggeleng, “Nope. Take your time.”
“Again, that doesn’t sound like you.” Entah kenapa aku malah ingin mengomentari pengertian dari Ryan yang harusnya kusyukuri. Kalau saja dia ngotot seperti biasa sudah sejak tadi pertengkaran ala sinetron terjadi antara kami.
Ryan memutar matanya dan tidak menjawab, hanya menghirup Chinese tea yang dituangkan pelayan barusan setelah meletakan piring kecil berisi potongan cabai ditengah meja.
Berdua kami mengawasi boneless roast duck, king prawn in salt and pepper, dan tumis kangkung yang mengepul. Aku sangat ingat rasa dari setiap jenis makanan ini, semuanya kesukaanku.
“Makan gih, nggak usah pura-pura ber manner.” Komentar Ryan.
Aku menendang kakinya, “BAWEL!” dan mulai makan, tidak memedulikan tawa cekikikannya yang mengganggu.
Dia benar-benar behave, sampai selesai makan malam tidak ada sedikitpun desakan darinya untukku memberikan penjelasan lebih jauh soal Rei. Akhirnya aku meletakan sumpitku dan menatapnya tanpa berkata-kata.
Ryan menyadari tapi tidak berkomentar apapun, hanya melawan tatapanku sebentar sebelum kembali berkonsentrasi pada makanannya. Dia adalah satu dari sedikit orang yang tidak pernah gentar diserang tatapan sadisku.
“If.” Aku memulai.
Ryan meletakan sumpit, menyeka mulutnya menggunakan serbet, meminum seteguk chinese tea dan berkonsentrasi padaku.
“If you really need to know, I rather to let you look for the information by yourself.”
Ryan tidak menjawab apa-apa.
“Go ahead, I’m giving you my permission.” Tambahku.
Masih tidak ada reaksi darinya.
“Saya nggak bisa…Belum.” Aku mengoreksi pernyataanku, “Belum bisa cerita apapun lebih dari yang udah saya kasih tau. Walaupun itu mungkin penting buat kamu.”
Ryan menggeleng cepat, tersenyum samar, “If that’s the case, then it’s not that important for me.”
Jawaban yang tepat, dan entah kenapa aku percaya dia memaksudkannya.
Aku jadi tak punya kata-kata.
“Ava?”
“Ya?”
“Yuk?”
Aku mengangguk dan mengenakan coat cashmere cokelat tuaku sambil mengumpulkan kesadaran melalui berapa helaan nafas.
“Sekarang kita ke LS 6.” Ujarnya.
Sambil mengenakan syal merah oleh-oleh dari Ryan tiga bulan lalu waktu dia jalan-jalan ke Liverpool aku tertawa, “Ini mau wisata kuliner ya, mas?”
“Yehhh, sepanjang yang saya tau kamu itu sesudah makan maunya minum kopi. Trus katanya di Leeds tempat kopi enak cuma ada empat: the Opposite, the tiled Hall, Lento sama LS6. Betul?”
“Ya iya sih, trus kenapa nggak ke Lento aja?”
“Udah tutup. Lagian disana nggak ada bir, kalau saya abis makan kan maunya minum bir. Nah, LS6 itu solusi yang tepat buat kita berdua, kamu dapet kopi, saya dapet bir. Semua senang.”
“Bla..bla..bla..” tukasku. “Terserah.”
Diluar, Ryan hampir menyalakan rokok waktu aku menggeram, “Don’t.”
“Why?”
“Just.” Jawabku ngotot. Tanpa bisa kutahan mataku memanas. Because I don’t want anyone else I care about to poison himself with cigarettes.
Lalu dengan takjub aku menyaksikan Ryan memasukan lagi batang rokok tersebut kedalam kotaknya. “Do you really hate my smoking habit?”
Sejenak aku tertegun, mengira-ngira maksud dari pertanyaannya. “Yes, I do.”
“How much?”
“As much as I hate Moonpools and sushi.” Jawabku sewot. “No, I hate cigarettes even more. Far more.”
Ryan mengerti penjelasan implisitku, mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi. Sebuah city council taxi berwarna putih muncul di tikungan, Ryan melambai dan membukakan pintu untukku.
Selanjutnya tidak terlalu banyak pembicaraan antaraku dan Ryan. Sesampainya di café bernuansa tujuhpuluhan yang malam ini begitu sepi Ryan menoleh dan bertanya, “Where do you wanna sit? The room full of clocks or the room full of music posters?”
LS 6 terbagi menjadi dua ruangan besar, satu ruangan dengan puluhan jam dinding dan satu lagi dengan puluhan poster musisi Inggris digantung sebagai dekorasi. Aku sesungguhnya suka ruangan dengan poster music dan selalu meniatkan untuk suatu waktu duduk disana, tapi sampai hari ini aku belum juga melakukannya, “The usual one, please.”
Ryan mengangguk, pergi ke bar sebentar untuk memesankan minuman kami dan duduk di meja tempat kami biasa duduk. Sambil mengeluarkan laptopnya Ryan berkata, “Just inform me what not to do, ok? I don’t mind.”
Aku diam. Menakjubkan betapa Ryan tiba-tiba berubah menjadi begitu pengertian sejak dia tahu alasan mendasarku membenci semua hal yang aku benci. Sebelumnya dia selalu mencoba memaksaku duduk di ruangan sebelah, hanya karena dia tahu aku membenci ruangan tersebut. Kali ini tidak ada perlawanan sama sekali, tiba-tiba hubungan kami berubah. Berubah jadi begitu mudah.
“You being this way…” desahku pelan.
Ryan tidak menatapku, tetap berkonsentrasi pada screen laptopnya. Tapi aku tahu dia mendengarkan.
“I could easily fancy you.” Lanjutku.
Matanya berpindah ke arahku. Hanya sekejap. Lalu pergi lagi sambil mengucap, “If only...?”
Aku tersenyum melanjutkan kalimatnya, “If only to get over my past could be that easy.”
Sejenak aku mengira pernyataan tersebut akan memusnahkan kemudahan antaraku dan Ryan yang sejak tadi kunkmati. Tapi dia juga tersenyum dan menjawab, “Easy is not my favourite way.”
Ada perasaan lega yang tak disangka-sangka.
Hening terpecah waktu waitress datang membawa secangkir cappuccino untukku dan satu pint Fruli, bir rasa strawberry, untuknya.
“You can enjoy the silence, don’t worry. I need to work on something anyway.” Ujarnya santai sambil merapikan rambut di keningku.
Aku mengangguk dan membiarkan dia sibuk dengan laptopnya, sementara pikiranku berkelana. Mencerna ide untuk mencoba bersama orang lain sejak perpisahan yang begitu membekas dengan Rei tiga tahun lalu.
Waktu aku memutuskan untuk tidak pulang setelah studiku selesai, Cardo sahabatku menelfon dan kami bicara cukup lama. Dia lalu menutup pembicaraan dengan berkata, “At some point you're gonna have to learn how to move on, Ava.”
Dan puluhan kalimat lain dengan pesan serupa sering menghampiriku sejak saat itu. Mengkhawatirkanku. Mencoba menasehatiku. Lewat e-mail, sms, facebook, telfon, bahkan Jenna sahabatku yang lain sempat datang ke Leeds dan bicara langsung mengenai hal tersebut.
Ide move on tetap terasa absurd untukku. Bukan hanya rasa setia yang ada dalam diriku, tapi juga cinta yang masih begitu besar. Keduanya sungguh tidak masuk akal, tapi begitu jelas keberadaannya. Untuk sekian lama hanya Rei, Rei dan Rei yang ada di pikiranku. Di hatiku. Di hidupku. Ide untuk move on tetap terasa absurd untukku, sampai saat ini.
Keabsurdan itu sedikit menjinak, mungkin karena seseorang bernama Ryan.
Sesuatu menyengat didalamku, perih. Otakku bekerja cepat mengidentifikasi apa yang baru saja menyerangku dengan hasil: Guilt.
Aku bahkan tidak bisa memutuskan apakah campuran dari pengharapan dan rasa bersalah ini adalah suatu kemajuan atau malah suatu kemunduran.
Jeez. It’s not gonna be easy.
“Easy is not my favourite way.”
Tanpa sadar aku terkekeh mengingat jawaban Ryan barusan, membuatnya mengangkat pandangan ke arahku, “If I can promise you that the poster with a grand piano in it is not in there, would you want to move to that other room?”
Aku tercekat untuk dua alasan. Yang pertama adalah karena kesaktiannya untuk bisa tahu poster apa sajakah yang masih ada di ruangan tersebut. Sementara yang kedua adalah karena, “Aku nggak ngerti darimana kamu bisa tahu bahwa poster itulah yang bikin aku males ada di ruangan sebelah.”
“Satu-satunya foto buatanku yang kamu benci adalah foto grand piano yang aku ambil waktu aku jalan ke Florence dulu.” Jawabnya santai. “So, shall we move?”
“Why?”
“Because I want to show you what makes me think that Leeds is beautiful.”
Aku mengerang, “Keras kepala.” Tapi berdiri dan mengikutinya berjalan ke ruangan tersebut. “Janji ya nggak ada poster itu.”
“Iya ah, bawel.”
“Dan aku yakin aku masih akan tetap berfikir Leeds SUCKS big time.”
Kami tiba di pintu yang memisahkan dua ruangan tersebut. Sekonyong-konyong Ryan berbalik menghadapku dan merengkuh bahuku. Pelan dia menuntunku bertukar posisi dengannya hingga aku kini membelakangi ruangan yang akan kami masuki.
Tawa mengejekku terhenti.
Sejenak tidak ada suara sampai dia berkata, “Aku kan bilang what makes ME think that Leeds is beautiful.”
“Ya udah nggak usah ngambek dong, serem deh.” Aku tertawa sumbang, keberadaan kedua tangannya di bahuku membuatku sedikit berkunang-kunang.
Ryan mendorongku sedikit hingga kami sekarang berada di ruangan penuh poster lalu membalikan tubuhku perlahan, “These are what make me think that Leeds is beautiful.”
Semua poster musik sudah tidak ada di dinding-dindingnya seperti biasa. Foto-fotoku yang Ryan ambil sejak kami saling kenal sebagai gantinya. Dalam berbagai ukuran, memenuhi tiga sisi ruangan tersebut.
…
“Ryan.” Aku menghela nafas.
“Belum selesai.” Ujarnya lalu mendudukanku di satu-satunya meja yang ada di tengah ruangan dan melakukan sesuatu di pojok ruangan. Aku menatap satu persatu foto-foto di dinding dengan perasaan yang begitu penuh dan menyesakkan.
Satu menit kemudian dia mematikan lampu, dan slide hasil jepretannya hari ini muncul di space kosong yang disisakannya di dinding di hadapanku. The Opposite, Bettys café, York, Kirkstale Abbey, Leeds city museum, the Tiled Hall café, Tong Palace, dan LS6. Denganku di dalam setiap foto-foto tersebut.
Bermenit-menit aku hanya diam, membiarkan beberapa tetes membebaskan diri memburamkan pandanganku. Mendengarkan detak jantungku yang tak beraturan. Mensyukuri lengan Ryan yang melingkari sandaran kursiku. Cukup dekat untuk menenangkanku, tidak terlalu dekat untuk menakutiku.
Hingga slide habis aku masih diam. Tidak ada isakan sama sekali, tapi kedua mataku basah, terasa perih dan panas.
Akhirnya, “Kamu nggak pake lagu sekalian sebagai backsound biar kaya film Hollywood?”
Ryan terkekeh.
“Lagian kamu sakti amat sih bisa bikin ini café membiarkan kamu ngelakuin ini? Dasar jurnalis, tukang lobi-lobi semua orang!”
Tidak ada jawaban selain tawa pendek yang sedikit mengejek. Mungkin mengejek ketidakmampuanku memberikan reaksi yang pantas di momen romatis seperti ini.
Aku tidak peduli, “Dasar sinetron. Beneran deh…Foto-foto saya, infocus pula…Duh, niat amat. Kenapa nggak sekalian pake lagu apa gitu kek yang romantis biar kaya di film-film?”
Tidak ada tawa lagi dari Ryan. Aku menoleh hendak menantang matanya yang kuyakin sedang menatapku dengan pandangan mengejek khas dia.
Tapi ternyata Ryan tidak sedang menatapku melainkan space kosong di dinding yang tadi digunakannya untuk memutar slide. Sesuatu dalam pandangannya membuatku diam.
Lama.
“I’m sorry. I just didn’t know what to say.” Ujarku pelan. “Really, this is ver..”
“And you don’t have to say anything.” Potongnya tenang. “The loud silence, Ava.That’s why there was no song. Nggak selamanya kita butuh musik.”
Detak jantungku mulai teratur.
“Ataupun kata-kata.” Lanjutnya.
Hatiku mulai terasa hangat. Kubiarkan hanya dia yang bersuara.
“Diam yang sederhana, diam yang menerima, untukku itu jauh lebih bermakna.”
Aku menyandarkan bahuku yang tidak lagi tegang.
“Untuk ada. Itulah yang terpenting diatas semuanya.”
Aku menyentuh tangannya yang melingkari sandaran kursiku, untuk merengkuhku dengan sebenar-benarnya.
Lalu sebelah tangan Ryan di bahuku terasa ada di tempat yang seharusnya.
“And keep this in mind:”, pintanya,”‘Easy’ is never my favourite way.”
Leeds, September 2009.
“Now I’d do anything just to have another sunny day.” Gumamku begitu mematikan alarm dan melihat gradasi abu-abu di luar jendela kamar. Pasti mendung lagi hari ini. “Lara?”
“Yeah.” Lara menjawab dari kamar sebelah. Seperti biasa sahabatku sejak dua tahun lalu itu sudah bangun lebih dulu, pasti sedang memeriksa e-mailnya. “Heavy rain at one pm, and cloudy for the rest of the day. 13 to 17 degree celcius. “ tambahnya sebelum aku bertanya.
Aku terkekeh, “Thanks, you’re getting good at this; I don’t even need to ask.”
“That does not mean I’m not annoyed.”
“But you love me. You’d check the weather forecast every morning for me, it makes me happy.”
Lara tidak menjawab.
“Right?” kejarku.
“That’s a stupid question, Ava.”
“Rhetorical question.” Lawanku.
“Yes rhetorical and stupid.” Potongnya. “We've shared a roof for two years and I am still here reading weather forecast for you. You know the answer, now quit talking and start your day, it’s 9 am already you lazy woman.”
Aku bangkit dan masuk kamar mandi yang berhadapan dengan kamarku dan Lara yang bersebelahan. Sekilas kulihat perempuan British berdarah setengah Irlandia itu sedang duduk di meja kerjanya. Laptopnya tampak terlalu modern berada diantara ribuan benda etnik di kamar Lara yang sejak setahun lalu menekuni dunia aksesoris dengan serius dan sudah mulai memiliki pasarnya sendiri. Profesinya itulah yang menjelaskan potongan perca warna-warni dan manik-manik dalam seribu satu bentuk dan jenis yang berserakan di kamarnya. Hari ini ia mengenakan salah satu kreasinya sendiri membelit rambut platinanya yang panjang, sebuah bandana berwarna hijau zamrud dengan manik-manik hijau menyala, “Hey, you’re wearing my favourite bandana.” Komentarku. Aku menyukainya sejak awal Lara membuat bandana itu.
Lara hanya tersenyum lalu bangkit, dan berjalan kearah tangga, “Coffee or tea?”
“Neither.” Jawabku.
“Ryan?” tanya Lara sebelum melangkah turun.
Aku mengangguk, “Who else, I’m meeting him for coffee in an hour.”
“Where?”
“The Opposite.” Aku membungkuk mengambil handuk bersih dari rak di bawah wastafel dan menyadari Lara masih diam mengamatiku waktu aku bangkit. “What?”
“You alright?”
Aku diam sebentar meraba perasaanku, “I don’t know. I think I’m fine. “
Lara terus menatapku dengan mata birunya, “Sure?”
Aku mengangguk, “I’ve been worse.”
Pada kenyataannya sampai aku duduk sendirian di teras The Opposite, dengan segelas cappuccino dan chocolate fudge cake kesukaanku, perasaanku masih belum jelas. Kutatap potongan besar cake cokelat dengan krim cokelat dan taburan cokelat serut itu, teringat mitos yang mengatakan bahwa cokelat akan bisa memperbaiki mood yang berantakan.
“This should do.” Desahku mulai menyuapkan potongan pertama ke mulutku sambil memperhatikan Parkinson Building yang jadi kebanggaan University of Leeds di seberang jalan. Gedung besar bergaya Victoria berwarna krim dengan pilar-pilar tinggi itu masih tampak megah dan klasik. Pertama kali melihatnya aku menyangka umur gedung tersebut sudah ratusan tahun, ide kuliah di dalam gedung yang sangat bersejarah sempat membuatku terserang euphoria. Jadi waktu kemudian Ryan dengan terkekeh-kekeh berkata bahwa umur gedung itu baru 58 tahun, aku dengan emosi menggebuk bagian belakang kepalanya.
“AW!” protesnya, “Kok digebuk sih? Saya kan cuma kasih tau kamu fakta!”
“Diem kamu ngerusak mimpi saya, dasar menyebalkan! Selama ini saya selalu berpikir bahwa sekali aja di seumur hidup saya, saya pernah belajar dalam sebuah gedung yang sangat kuno dan menyimpan sejarah…Sekarang saya kembali jadi seseorang yang nggak punya kenangan apapun tentang belajar dalam gedung bersejarah dan semuanya gara-gara kamu!!!!”
“Yehhhhh! Salahin itu tuan Parkinson tuh, kenapa baru kepikiran ngebangun Parkinson Building tahun 1951…Jangan salahin saya dong! Lagian, aneh. Yang udah tiga tahun disini kan kamu. Yang udah beres ambil master disini dua tahun lalu kan kamu. Yang harusnya ngasih tau saya tentang sejarah Parkinson Building kan kamu. Eh…ini malah saya yang baru dateng seminggu lalu yang ngasih tau kamu, kebalik.” Repetnya nyinyir, “DIGEBUK PULA!!”
“Bla bla bla. Brisik.” Komentarku pendek dan menepak kepalanya sekali lagi. “Dasar mental jurnalis nggak bisa diem dikit. Emang harus ya dimanapun kamu berada, mencari-cari fakta tentang tempat itu?”
“Ava, cut it off!” jawabnya kesal. “It’s in my blood, there’s nothing you can do about it!” Lalu waktu melihat aku hampir menepak kepalanya lagi dia menangkap tanganku dan menarik rambutku sebagai balasan. Sesuatu yang selalu dilakukannya setiap kali kesal padaku sejak sore itu.
Sesuatu yang selalu dilakukannya sejak sore itu dan mungkin akan membuatku rindu.
Seseorang menarik rambutku, mengembalikanku ke masa kini, “Jangan kaya orang susah gitu mukanya, mbak.”
Aku merengut, “Muka kamu tu kaya orang susah! Udah gondrong, kurus, kurang tidur, begadang melulu…mau jadi apa?”
Ryan tidak menjawab dan mencomot cake ku dengan santai, lalu menyalakan rokok dan menghirup café Americano pesanan standarnya.
Pesanan yang sama sejak pertemuan pertamaku dengannya, waktu itu Ryan diajak teman-temanku dari PPI Leeds untuk datang ke the Opposite. Komentarku waktu mendengar namanya adalah: “Nama kamu bagus.”
“Are you trying to hit on me?”
“What? No I’m not.” jawabku sewot.
Dia mengangkat bahu, “You just compliment my name.”
“Because it reminds me of my brother’s name!” salakku. “Yang ada saya malah jadi males.”
“Baguslah.”
“Bagus?”
Dia mengangguk, “Iya, bagus. Saya juga bosen ditaksir melulu.”
Dia selalu mengesalkan.
Ryan menggebrak meja sedikit, membuatku kaget, “So.”
“Monyet. Kaget nih!” makiku menoyor kepalanya.
Ryan memutar bola matanya dan mencondongkan tubuh ke arahku, “I still think Leeds is beautiful.”
Ah lagi, perdebatan yang takkan ada akhirnya. “I still think Leeds sucks big time.” Balasku pendek.
“That’s why we’re here. Today.” Katanya berdiri, “Ayo.”
“Kemana?” aku bertanya curiga, tidak bergerak dari dudukku.
“I want to show you what makes Leeds beautiful.”
“Where?”
“Ava please.” Ryan menarik tanganku, “Could we just go?”
“Ryan, please.” Aku meniru intonasinya sambil berdiri juga akhirnya, “Kamu kan tau saya paling nggak suka pergi-pergi tanpa tau dengan jelas kemana kita bakal pergi.”
“Kamu tau dengan jelas kemana kita bakal pergi, kita bakal pergi ke ngeliat apa yang membuat Leeds istimewa.” Jawab Ryan lalu mengangkat tangannya waktu melihat aku hampir menjawab lagi, “Pertama, kita bakal pergi ke York.”
“What? Why?”
“Karena kota kecil duapuluh menit dari Leeds itu begitu indah dengan bangunan-bangunan tua dan toko-toko kecilnya…”
“Bisa nggak kasih penjelasan yang beda sama yang kamu kasih buat ribuan pembaca kolom kamu itu?” tukasku sebal, yang Ryan tadi ucapkan adalah line pembuka artikel tentang York yang dia tulis tahun lalu untuk kolomnya di salah satu majalah nasional Indonesia. Aku hafal, entah kenapa.
“Karena saya janji traktir kamu apa yang mereka bilang the best scone ever .” Ryan sekali lagi mengangkat tangannya menghentikan bantahanku, “Dan no, jangan bilang ‘kan bisa ntar-ntar, Yan’ seperti yang biasa kamu lakukan karena itu lah yang membuat kita hari ini, tujuh bulan sejak saya menjanjikan hal itu ke kamu, belum juga melakukannya. Hari ini saya nggak akan membiarkan kamu memanipulasi saya seperti biasa. We’re going there.”
“Why?”
“Because I’m leaving Leeds tomorrow.”
“No, I mean why did you call me ‘manipulative’?”
Bukannya menjawab dia malah mengatur posisi berdiriku dan melangkah menjauh sedikit, lalu mengeluarkan kamera nya dan memotretku.
“Apa-apaan sih kamu?” ujarku gemas. “Udah ayo berangkat ke York, serah deh mau kemana, asal berhenti memperlakukan saya sebagai objek!”
Ryan terkekeh mengikutiku, pasti merasa sungguh bangga bisa membuatku mengiyakan ajakannya ke York, “Saya nggak memperlakukan kamu sebagai objek, Ava. Saya memperlakukan objek-objek ini,” dia menunjuk sign The Opposite, kursi-kursi dan meja-meja di belakangku, “Sebagai objek. Sementara kamu, saya memperlakukan kamu sebagai ‘pemanis’.”
“SERAH! Jawab aja terus.”
Ryan sedang dalam mood yang bagus hari ini, yang adalah berarti dia punya energi tak berkesudahan untuk menggangguku, apapun yang terjadi. Saat membeli tiket di Leeds train station, di dalam kereta menuju York, di York train station, dia selalu memotretku. Satu yang kupelajari setelah setahun mengenal manusia tengil ini adalah, untuk jangan pernah menginformasikan apapun itu yang bisa membuatku irritated karena dia justru akan melakukannya. Dia selalu memasang lagu-lagu Moonpools & Catterpillar untuk menggangguku, lalu menyeretku ke Little Tokyo yang notabene adalah restoran sushi terenak di Leeds— karena dia tahu aku benci sushi, dan memotretku karena dia tahu aku benci dipotret.
Annoying.
Bahkan sampai kami berdua duduk manis di Bettys café Tea Room, dia masih terus memotretku dan selalu menggunakan jawaban ‘But it’s my last day here’ untuk membungkam protes-protesku.
Annoying. Super annoying.
Satu set Bettys Traditional Afternoon Tea tiba di meja kami dan tatapan merengutku pada Ryan berhenti karena satu teko teh, dua buah scone dan setumpuk sandwich yang terhidang dihadapan kami membuatku merasa harus memberikan instruksi, “Kamu yang makan semua sandwich nya kecuali yang isi smoked Scottish salmon.”
“Jadi kamu yang makan smoked Scottish salmonnya?”
“Bukan, orang di meja sebelah kita yang bakal makan itu.” Tukasku judes, “Ya iyalah saya, siapa lagi! Dan sultana scone nya dua-duanya buat saya.”
“Kenapa?”
“Karena kamu mengesalkan dan kamu janji mau traktir saya the best scone ever.” Jawabku datar lalu mendekatkan wajahku ke wajahnya di hadapanku, “Saya mau dua best scone ever dan nggak hanya satu. Ngerti?”
Ryan tidak menjawab, malah mundur sedikit dan dengan cepat memotretku.
“Ryan!”
Dia tertawa, “Haha, kamu cocok main film mafia kaya The Eastern Promise, Va.”
Aku mengangkat bahu, “Terserah, sana main kamera sesuka kamu. Saya mau makan. By the way, film tentang mafia mah udah nggak jaman! Ini 2009 bung, it’s the year of terrorism movies.”
“Itu sih trend nggak hanya di film, Va, di dunia nyata juga, bukan?”
Akhirnya aku berhasil mengalihkan perhatian Ryan sebentar. Ketidak sengajaanku mengucapkan kata ‘terorisme’ menghasilkan Ryan yang mengoceh panjang lebar soal sejarah terorisme dan teori-teorinya selama kami makan. Not a fun topic, but at least he stopped taking pictures for an hour.
Sambil makan aku memperhatikan ekspresinya yang selalu sama setiap kali membicarakan hal-hal seperti ini. Matanya berbinar-binar dan begitu ekspresif, seolah sedang membicarakan hal lain yang tidak menyeramkan sama sekali.
Orang yang aneh.
Tapi satu setengah jam kemudian, kembali di Leeds dan tiba di Kirkstall Abbey, tentu saja Ryan sudah kehabisan bahan soal terorisme dan aku sudah kehabisan pertanyaan untuk membuatnya terus bicara, jadi perhatiannya kembali pada sang kamera kesayangan.
Puing-puing bangunan tua yang dulunya adalah biara untuk suatu ordo Katolik bernama Cistercians ini pernah kudatangi tiga tahun lalu, pertama kali aku tiba di Leeds. Kirkstall Abey yang ada dalam ingatanku tidak jauh beda dengan apa yang kulihat sekarang. Bedanya hanya dahulu aku ada disini pada saat mendung, kali ini matahari bersinar cerah, membuat warna hijau rumput dan pepohonan yang menjadi latar puing-puing tersebut menjadi jauh lebih hidup. Tentu saja ini membuat Ryan sang fotografer kegirangan. Dia terus menerus menyuruhku untuk ‘coba berdiri disana’, coba duduk disitu’, dan ‘coba nyender di pilar itu’ sambil terus memotret-motret. Yang terakhir soal pilar langsung ku tolak mentah-mentah, “Kamu mau bikin foto saya dengan konsep tahun sembilanpuluhan apa??”
“Bukan.” Jawabnya menahan tawa, “Konsep gadis sampul tahun sembilanpuluhan.”
“Kurang ajar.” Makiku sekali lagi menyesali kegoblokanku dahulu menceritakan bagaimana acara model-modelan itu menurutku adalah eksploitasi perempuan yang keterlaluan pada Ryan. “Saya nggak ngerti kenapa tempat ini begitu berarti buat kamu, by the way. Puing-puing kaya gini kan ada juga di York…”
“Iya, tau.” Kata Ryan sambil mengutak-ngatik sesuatu di kameranya sebelum berjalan ke pintu masuk untuk memotret keseluruhan lorong panjang tempat kami sedang berdiri. “Emang kenapa?”
Aku mengangkat bahu, “I don’t know…Cuma aja seindah-indahnya tempat ini, belum cukup untuk bisa dijadikan argument melawan statement saya bahwa Leeds sucks.”
“Iya, tau.”
“Lah, trus? Katanya tadi mau nunjukin ‘what makes Leeds beautiful’?”
“Sabar deh, saya kan nggak bilang bahwa what makes Leeds beautiful itu cuma satu tempat!” tukas Ryan gemas, “Bawel.”
Aku manyun, “Astaga, jadi bakal berapa lama kita muter-muterin Leeds?”
“Masih lama.” Jawabnya pendek.
“Hah! Dan kamu pasti akan menggunakan alesan ‘but it’s my last day here’ setiap kali saya cape.”
Ryan tidak menjawab.
“Whatever, saya yakin at the end of the day pasti saya bakal masih mikir Leeds sucks.” Desahku.
Perhentian berikutnya adalah Leeds city museum, yang harus kuakui memang bagus dan adalah satu dari sedikit hal yang kubanggakan dari Leeds. Dibangun tahun 1862, Leeds city museum pernah mengalami kerusakan parah karena serangan udara pada perang dunia kedua. Dua dari tiga mumi yang dimiliki museum tersebut hancur tak bersisa, menyisakan hanya satu mumi di bagian Ancient Worlds di lantai paling atas.
“Kenapa sih kamu suka sekali bagian ini?” tanya Ryan selagi kami, untuk entah keberapa puluh kalinya, menyusuri Ancient Worlds section.
“Karena disinilah pertama kalinya saya melihat wajah dia.” Ujarku menunjuk sculpture mini wajah Dynosius.
Ryan menatapku geli, “The God of Wine, tentu saja.”
Aku ikut tertawa, tanpa sengaja teringat suatu sore empat bulan yang lalu.
“Kamu kenapa sih, Va? Pucet.”
“Sakit kepala.”
“Terlalu stress, tu pasti.”
“Mungkin. PMS juga sih.”
“Minum obat sih.”
“Nggak mau. Saya nggak suka pain killer. KIMIA.”
“Mau ke tempat saya, saya masakin?”
“Nggak.”
“Kenapa?”
“Karena saya lagi sakit kepala dan saya cranky. Kalau saya ke Kelso, saya bakal harus nemuin teh Dayce, Kang Kemal, Arrya sama Beni.”
“Ya iyalah since they live there also.”
“IYA! Tapi itu berarti mereka bakal kena efek cranky saya dan saya nggak mau bikin mereka bete.”
“Tapi kalau bikin saya bête nggak pa-pa?”
“Ya kalo nggak mau ikutan bete NGAPAIN ADA DISINI! Sana pergi.”
Satu jam kemudian Ryan datang ke perpustakaan, menyeretku keluar dan duduk di taman, lalu mengeluarkan wine Domini Veneti kesukaanku dan berkata, “Kalau minum obat nggak mau, dimasakin nggak mau, setidaknya minum ini sedikit bakal bikin sakit kepala kamu mendingan kan.”
“Satu botol? Saya kan udah bilang saya suka wine tapi nggak suka mabuk.”
“Ya ini kan buat barengan, Ava. Lagian kamu nggak usah abisin, saya cuma pengen liat aja apakah ini bisa meredakan sakit kepala kamu atau nggak.” Dia lalu mengeluarkan dua gelas wine dan menjelaskan sebelum aku sempat bertanya, “Jangan komentar, yang punya abnormally high appreciation to wine disini adalah kamu, bukan saya. Yang bilang bahwa minum wine dari gelas plastik adalah ‘big crime’ disini adalah kamu, bukan saya. Jadi satu-satunya alasan kenapa saya repot-repot bawain dua gelas ini kesini sekarang adalah kamu, bukan saya.”
“Thanks.”
“That’s ok. This is what friends are for.”
“Va.” Panggilan Ryan mengembalikanku ke masa kini.
“Yeah?”
“Mau ngopi di bawah?” ajaknya. Ryan adalah satu dari sedikit orang yang bukan saja tidak menganggap kecanduanku pada kopi sebagai sesuatu yang aneh, tapi juga sanggup mengimbangiku.
“Di the Tiled Hall aja yuk?” ajakku.
Ryan mengangguk dan sepuluh menit kemudian kami sudah duduk berhadapan dengan secangkir cappucinno untukku dan Americano untuknya, di dalam sebuah salah satu café favoritku di Leeds. Cafe ini terletak di dalam Leeds city library yang jaraknya hanya sekitar seratus meter dari Leeds city museum, dengan interior klasik khas Inggris yang dipertahankan sejak dibangun tahun 1884. Aslinya ruangan tempat aku dan Ryan duduk sekarang adalah ruang baca, sempat dijadikan ruang pameran sculpture, dan akhirnya menjadi cafe sejak tahun 1999. Tebak darimana aku tahu sejarah The Tiled Hall? Tentu saja dari laki-laki yang sedang duduk dihadapanku ini, yang sedang menyenandungkan lagu entah apa sambil menyesap kopinya.
Aku melawan matanya yang intens menatapku selama beberapa menit, “Apa?”
“Judes.” Komentarnya.
“Banyak komentar.” Balasku. “Lagian kamu ngeliatin saya gitu amat, horror. Awas kalau mikirin yang jorok-jorok.”
Ryan terkekeh, “Dosa lho berprasangka buruk terus.”
“Mikirin yang jorok-jorok juga dosa.”
“Yeh siapa yang mikirin yang jorok-jorok orang lagi mikirin makanan.”
“Heh dasar kurang ajar, ngeliatin saya malah mikirin makanan!” makiku kesal. “Pasti mau nyeret saya ke tempat sushi itu lagi kan? OGAH!”
Tatapannya melembut, “Nggak kok. Kita ke Tong Palace aja.”
Aku terkejut, “Well, well...rencana pulang bisa membuat seseorang berubah begitu drastis deh. Nice! Saya bahkan nggak usah memohon-mohon dulu buat bikin kamu mau makan disana! PERFECT!”
“Kamu beneran nggak suka sushi, emang, Va?”
Untuk seribu satu alasan, kopi yang kuminum masuk ke jalur yang salah, membuatku tersedak. Alasan terbesar adalah pertanyaan Ryan barusan, tentu saja.
Ryan memijit tengkukku, “Va, are you okay?”
Aku mengangguk sambil menghapus air mata yang bercucuran.
Lalu Ryan tidak berkata apa-apa lagi dan aku tahu dia menunggu jawabanku. Detak jantungku sedikit mengencang sembari aku menimbang-nimbang apakah kali ini, setelah sekian lama aku selalu menghindar, harus kuhadapi pertanyaannya.
Sejak aku tahu profesinya, lalu kemudian sifatnya, aku tahu takkan butuh waktu lama untuk Ryan mengetahui latar belakangku. Mengetahui siapa aku, keluargaku, sekolahku, profesiku dahulu, dan tentu saja cerita tentang Rei. Sejauh apapun jarak antara Inggris dan Indonesia, untuk mengetahui berita tentang seseorang tidaklah sesulit itu, apalagi ditunjang dengan keahlian seperti yang dimiliki Ryan. Aku tahu dia tahu, hanya aku tidak pernah tahu sejauh mana dia tahu, dan rasanya aku tidak mau tahu sejauh apa dia tahu.
Aku menatapnya lama dan tidak juga bisa memutuskan apa yang harus kulakukan sampai kudengar suaraku sendiri berkata, “Nggak, saya suka sushi kok.”
Jangankan Ryan, akupun terkejut menyadari langkah besarku ini. Bisa kulihat otot-otot rahangnya mengeras karena tegang dan dia menelan ludah dua kali sebelum mengajukan pertanyaan berikutnya, “Dan kamu juga suka Moonpools?”
Sedikit, tapi bisa kudengar suaranya bergetar.
Aku mengangguk, “Cut it off, Yan. You know everything. Why don’t we just talk about it as it is?”
Diam.
“Why don’t you talk about it as it is, for a change?” ujar Ryan akhirnya.
Aku menghela nafas, nyaris tidak percaya bahwa aku akan benar-benar mengatakannya, “The only reason why I hate sushi and moonpools is because they remind me of the love of my life who died three years ago.”
Lama sekali sampai akhirnya Ryan berdehem, aku tidak bergerak, hanya menunggu apa kira-kira yang
akan dikatakannya.
“Jadi...”
Ryan berhenti sejenak dan aku harus berusaha keras untuk tidak menepak kepalanya dan berkata ‘NGOMONG CEPETAN JANGAN LAMA-LAMA!!’ seperti biasa.
“Jadi kamu juga sebetulnya suka di foto ya?”
Nada menggoda dalam suaranya membuat tawaku meledak dan aku benar-benar menepak kepalanya kali ini, “Monyet!”
Ryan ikut tertawa, “Lho, kan saya cuma nanya!”
Aku meneguk kopiku dan menghela nafas lagi, “Nggak. Sumpah. Saya nggak suka di foto.”
Sepertinya dia tidak mengerti bahasa Indonesia karena Ryan masih tetap membidikku dengan kameranya.
“Ryan, saya beneran nggak suka di foto.”
“But it’s my last day here!”
Aku menggeram, “Ya udahhhhhhh, terserah!”
Sampai kopi kami habis Ryan masih tetap memotret-motret dan aku tidak terlalu mempedulikannya.
Otakku terlalu sibuk memikirkan pembicaraan kami barusan, ternyata sesuatu yang kutakuti selama ini tidaklah semenyeramkan itu. Baik reaksi Ryan maupun perasaanku, ternyata tidaklah seburuk yang kukira. Tidak kusangka akan ada harinya dimana aku bisa bicara tentang apapun yang kualami tiga tahun lalu tanpa tersedu-sedu.
Tentu saja aku masih merasakan perih yang begitu familiar di ulu hatiku, nafasku masih sedikit berat mengingat sosok itu dan istilah ‘merelakan’ belum sepenuhnya bisa kupahami lebih baik dari istilah ‘menyesali’. Mataku masih terasa panas dan harapan untuk bertemu Rei lagi masih terasa jelas.
Dan parade penyiksaan ini masih ditutup dengan perasaan paling menyakitkan diatas semuanya: perasaan tidak berdaya, menyadari sepenuhnya bahwa aku tidak bisa melakukan apa-apa. Sebagaimanapun aku masih merindukan dia, sekeras apapun aku mintakan kembali kehadirannya, Rei sudah tak ada.
Semua masih sama.
Hanya saja kali ini tidak ada air mata yang jatuh, dan ini adalah kemajuan yang berarti. Mungkin karena Ryan juga tidak memaksaku untuk memberi penjelasan lebih jauh soal hal itu dan malah melontarkan joke bodoh yang seolah tidak pada tempatnya. Joke bodoh yang sesungguhnya sangat-sangat pada tempatnya.
“Kalau Tong Palace?” pertanyaan Ryan membuyarkan pikiranku. Tanpa kusadari kami sudah berdiri di hadapan restoran cina favoritku itu di Vicar Lane road.
“Kalau Tong Palace...?” ulangku bingung. “Kamu ngomong apa sih?”
“Could Tong Palace be a good enough reason to change your statement about Leeds?” Tanya Ryan.
Aku berpikir sebentar, “Tong Palace could change ‘sucks big time’ to ‘not too bad’, but I definitely won’t change it to ‘beautiful’.”
“You are just hard to please.”
“Indeed.” Jawabku singkat dan masuk ke dalam, langsung memesan seporsi roast duck, kangkung cah bawang putih dan nasi begitu duduk.
Tough one sebetulnya, “Tong Palace akan masuk lima besar kalau saya harus bikin list alasan saya bisa bertahan disini sampai hari ini. This place would be one of my heroes.”
Ryan mengangguk tanpa melepaskan pandangan dari kameranya, tetap memotretku dari tempatnya duduk, “Sama, saya juga.”
Pelayan datang membawakan pesanan kami dan Ryan menyapa, “Excuse me, could I have a small plate of chopped chilli?”
Tanpa bisa kutahan aku tersenyum, tahu bahwa dia meminta cabai rawit itu untukku, “Makasih ya, so sweet deh.”
“Makasih ya, so sweet deh.” Dia mengulang ucapan terimakasihku dengan mengesalkan.
Aku melotot dan mencondongkan tubuhku ke arahnya sambil mengangkat tangan kananku, mengancam hendak menepak kepalanya lagi. Ryan hanya terkekeh dan berkata, “Don’t.”
“Why not?”
“Because I’m sweet and you like me.”
Aku menghela nafas dan bersandar kembali, “Yeah, I kind of like you.”
“I never try to find out about it, you know.” Balasannya sungguh tidak relevan.
Tapi aku mengerti apa yang dia bicarakan, “Really, why? That doesn’t sound like you.”
Ryan mengangkat bahu, “Saya suka mencari tahu, memang. Tapi saya juga termasuk orang yang sangat mementingkan narasumber...Dan dalam hal ini, saya nggak mau tau apapun kecuali dari kamu.”
Aku terdiam agak lama, “Apa yang kamu pengen tau?”
“Apapun yang menurut kamu perlu saya tau.”
Aku mengangguk, “Oke.”
Lalu diam lagi.
“Nggak harus saya kasih tau semuanya sekarang, kan?”
Ryan menggeleng, “Nope. Take your time.”
“Again, that doesn’t sound like you.” Entah kenapa aku malah ingin mengomentari pengertian dari Ryan yang harusnya kusyukuri. Kalau saja dia ngotot seperti biasa sudah sejak tadi pertengkaran ala sinetron terjadi antara kami.
Ryan memutar matanya dan tidak menjawab, hanya menghirup Chinese tea yang dituangkan pelayan barusan setelah meletakan piring kecil berisi potongan cabai ditengah meja.
Berdua kami mengawasi boneless roast duck, king prawn in salt and pepper, dan tumis kangkung yang mengepul. Aku sangat ingat rasa dari setiap jenis makanan ini, semuanya kesukaanku.
“Makan gih, nggak usah pura-pura ber manner.” Komentar Ryan.
Aku menendang kakinya, “BAWEL!” dan mulai makan, tidak memedulikan tawa cekikikannya yang mengganggu.
Dia benar-benar behave, sampai selesai makan malam tidak ada sedikitpun desakan darinya untukku memberikan penjelasan lebih jauh soal Rei. Akhirnya aku meletakan sumpitku dan menatapnya tanpa berkata-kata.
Ryan menyadari tapi tidak berkomentar apapun, hanya melawan tatapanku sebentar sebelum kembali berkonsentrasi pada makanannya. Dia adalah satu dari sedikit orang yang tidak pernah gentar diserang tatapan sadisku.
“If.” Aku memulai.
Ryan meletakan sumpit, menyeka mulutnya menggunakan serbet, meminum seteguk chinese tea dan berkonsentrasi padaku.
“If you really need to know, I rather to let you look for the information by yourself.”
Ryan tidak menjawab apa-apa.
“Go ahead, I’m giving you my permission.” Tambahku.
Masih tidak ada reaksi darinya.
“Saya nggak bisa…Belum.” Aku mengoreksi pernyataanku, “Belum bisa cerita apapun lebih dari yang udah saya kasih tau. Walaupun itu mungkin penting buat kamu.”
Ryan menggeleng cepat, tersenyum samar, “If that’s the case, then it’s not that important for me.”
Jawaban yang tepat, dan entah kenapa aku percaya dia memaksudkannya.
Aku jadi tak punya kata-kata.
“Ava?”
“Ya?”
“Yuk?”
Aku mengangguk dan mengenakan coat cashmere cokelat tuaku sambil mengumpulkan kesadaran melalui berapa helaan nafas.
“Sekarang kita ke LS 6.” Ujarnya.
Sambil mengenakan syal merah oleh-oleh dari Ryan tiga bulan lalu waktu dia jalan-jalan ke Liverpool aku tertawa, “Ini mau wisata kuliner ya, mas?”
“Yehhh, sepanjang yang saya tau kamu itu sesudah makan maunya minum kopi. Trus katanya di Leeds tempat kopi enak cuma ada empat: the Opposite, the tiled Hall, Lento sama LS6. Betul?”
“Ya iya sih, trus kenapa nggak ke Lento aja?”
“Udah tutup. Lagian disana nggak ada bir, kalau saya abis makan kan maunya minum bir. Nah, LS6 itu solusi yang tepat buat kita berdua, kamu dapet kopi, saya dapet bir. Semua senang.”
“Bla..bla..bla..” tukasku. “Terserah.”
Diluar, Ryan hampir menyalakan rokok waktu aku menggeram, “Don’t.”
“Why?”
“Just.” Jawabku ngotot. Tanpa bisa kutahan mataku memanas. Because I don’t want anyone else I care about to poison himself with cigarettes.
Lalu dengan takjub aku menyaksikan Ryan memasukan lagi batang rokok tersebut kedalam kotaknya. “Do you really hate my smoking habit?”
Sejenak aku tertegun, mengira-ngira maksud dari pertanyaannya. “Yes, I do.”
“How much?”
“As much as I hate Moonpools and sushi.” Jawabku sewot. “No, I hate cigarettes even more. Far more.”
Ryan mengerti penjelasan implisitku, mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi. Sebuah city council taxi berwarna putih muncul di tikungan, Ryan melambai dan membukakan pintu untukku.
Selanjutnya tidak terlalu banyak pembicaraan antaraku dan Ryan. Sesampainya di café bernuansa tujuhpuluhan yang malam ini begitu sepi Ryan menoleh dan bertanya, “Where do you wanna sit? The room full of clocks or the room full of music posters?”
LS 6 terbagi menjadi dua ruangan besar, satu ruangan dengan puluhan jam dinding dan satu lagi dengan puluhan poster musisi Inggris digantung sebagai dekorasi. Aku sesungguhnya suka ruangan dengan poster music dan selalu meniatkan untuk suatu waktu duduk disana, tapi sampai hari ini aku belum juga melakukannya, “The usual one, please.”
Ryan mengangguk, pergi ke bar sebentar untuk memesankan minuman kami dan duduk di meja tempat kami biasa duduk. Sambil mengeluarkan laptopnya Ryan berkata, “Just inform me what not to do, ok? I don’t mind.”
Aku diam. Menakjubkan betapa Ryan tiba-tiba berubah menjadi begitu pengertian sejak dia tahu alasan mendasarku membenci semua hal yang aku benci. Sebelumnya dia selalu mencoba memaksaku duduk di ruangan sebelah, hanya karena dia tahu aku membenci ruangan tersebut. Kali ini tidak ada perlawanan sama sekali, tiba-tiba hubungan kami berubah. Berubah jadi begitu mudah.
“You being this way…” desahku pelan.
Ryan tidak menatapku, tetap berkonsentrasi pada screen laptopnya. Tapi aku tahu dia mendengarkan.
“I could easily fancy you.” Lanjutku.
Matanya berpindah ke arahku. Hanya sekejap. Lalu pergi lagi sambil mengucap, “If only...?”
Aku tersenyum melanjutkan kalimatnya, “If only to get over my past could be that easy.”
Sejenak aku mengira pernyataan tersebut akan memusnahkan kemudahan antaraku dan Ryan yang sejak tadi kunkmati. Tapi dia juga tersenyum dan menjawab, “Easy is not my favourite way.”
Ada perasaan lega yang tak disangka-sangka.
Hening terpecah waktu waitress datang membawa secangkir cappuccino untukku dan satu pint Fruli, bir rasa strawberry, untuknya.
“You can enjoy the silence, don’t worry. I need to work on something anyway.” Ujarnya santai sambil merapikan rambut di keningku.
Aku mengangguk dan membiarkan dia sibuk dengan laptopnya, sementara pikiranku berkelana. Mencerna ide untuk mencoba bersama orang lain sejak perpisahan yang begitu membekas dengan Rei tiga tahun lalu.
Waktu aku memutuskan untuk tidak pulang setelah studiku selesai, Cardo sahabatku menelfon dan kami bicara cukup lama. Dia lalu menutup pembicaraan dengan berkata, “At some point you're gonna have to learn how to move on, Ava.”
Dan puluhan kalimat lain dengan pesan serupa sering menghampiriku sejak saat itu. Mengkhawatirkanku. Mencoba menasehatiku. Lewat e-mail, sms, facebook, telfon, bahkan Jenna sahabatku yang lain sempat datang ke Leeds dan bicara langsung mengenai hal tersebut.
Ide move on tetap terasa absurd untukku. Bukan hanya rasa setia yang ada dalam diriku, tapi juga cinta yang masih begitu besar. Keduanya sungguh tidak masuk akal, tapi begitu jelas keberadaannya. Untuk sekian lama hanya Rei, Rei dan Rei yang ada di pikiranku. Di hatiku. Di hidupku. Ide untuk move on tetap terasa absurd untukku, sampai saat ini.
Keabsurdan itu sedikit menjinak, mungkin karena seseorang bernama Ryan.
Sesuatu menyengat didalamku, perih. Otakku bekerja cepat mengidentifikasi apa yang baru saja menyerangku dengan hasil: Guilt.
Aku bahkan tidak bisa memutuskan apakah campuran dari pengharapan dan rasa bersalah ini adalah suatu kemajuan atau malah suatu kemunduran.
Jeez. It’s not gonna be easy.
“Easy is not my favourite way.”
Tanpa sadar aku terkekeh mengingat jawaban Ryan barusan, membuatnya mengangkat pandangan ke arahku, “If I can promise you that the poster with a grand piano in it is not in there, would you want to move to that other room?”
Aku tercekat untuk dua alasan. Yang pertama adalah karena kesaktiannya untuk bisa tahu poster apa sajakah yang masih ada di ruangan tersebut. Sementara yang kedua adalah karena, “Aku nggak ngerti darimana kamu bisa tahu bahwa poster itulah yang bikin aku males ada di ruangan sebelah.”
“Satu-satunya foto buatanku yang kamu benci adalah foto grand piano yang aku ambil waktu aku jalan ke Florence dulu.” Jawabnya santai. “So, shall we move?”
“Why?”
“Because I want to show you what makes me think that Leeds is beautiful.”
Aku mengerang, “Keras kepala.” Tapi berdiri dan mengikutinya berjalan ke ruangan tersebut. “Janji ya nggak ada poster itu.”
“Iya ah, bawel.”
“Dan aku yakin aku masih akan tetap berfikir Leeds SUCKS big time.”
Kami tiba di pintu yang memisahkan dua ruangan tersebut. Sekonyong-konyong Ryan berbalik menghadapku dan merengkuh bahuku. Pelan dia menuntunku bertukar posisi dengannya hingga aku kini membelakangi ruangan yang akan kami masuki.
Tawa mengejekku terhenti.
Sejenak tidak ada suara sampai dia berkata, “Aku kan bilang what makes ME think that Leeds is beautiful.”
“Ya udah nggak usah ngambek dong, serem deh.” Aku tertawa sumbang, keberadaan kedua tangannya di bahuku membuatku sedikit berkunang-kunang.
Ryan mendorongku sedikit hingga kami sekarang berada di ruangan penuh poster lalu membalikan tubuhku perlahan, “These are what make me think that Leeds is beautiful.”
Semua poster musik sudah tidak ada di dinding-dindingnya seperti biasa. Foto-fotoku yang Ryan ambil sejak kami saling kenal sebagai gantinya. Dalam berbagai ukuran, memenuhi tiga sisi ruangan tersebut.
…
“Ryan.” Aku menghela nafas.
“Belum selesai.” Ujarnya lalu mendudukanku di satu-satunya meja yang ada di tengah ruangan dan melakukan sesuatu di pojok ruangan. Aku menatap satu persatu foto-foto di dinding dengan perasaan yang begitu penuh dan menyesakkan.
Satu menit kemudian dia mematikan lampu, dan slide hasil jepretannya hari ini muncul di space kosong yang disisakannya di dinding di hadapanku. The Opposite, Bettys café, York, Kirkstale Abbey, Leeds city museum, the Tiled Hall café, Tong Palace, dan LS6. Denganku di dalam setiap foto-foto tersebut.
Bermenit-menit aku hanya diam, membiarkan beberapa tetes membebaskan diri memburamkan pandanganku. Mendengarkan detak jantungku yang tak beraturan. Mensyukuri lengan Ryan yang melingkari sandaran kursiku. Cukup dekat untuk menenangkanku, tidak terlalu dekat untuk menakutiku.
Hingga slide habis aku masih diam. Tidak ada isakan sama sekali, tapi kedua mataku basah, terasa perih dan panas.
Akhirnya, “Kamu nggak pake lagu sekalian sebagai backsound biar kaya film Hollywood?”
Ryan terkekeh.
“Lagian kamu sakti amat sih bisa bikin ini café membiarkan kamu ngelakuin ini? Dasar jurnalis, tukang lobi-lobi semua orang!”
Tidak ada jawaban selain tawa pendek yang sedikit mengejek. Mungkin mengejek ketidakmampuanku memberikan reaksi yang pantas di momen romatis seperti ini.
Aku tidak peduli, “Dasar sinetron. Beneran deh…Foto-foto saya, infocus pula…Duh, niat amat. Kenapa nggak sekalian pake lagu apa gitu kek yang romantis biar kaya di film-film?”
Tidak ada tawa lagi dari Ryan. Aku menoleh hendak menantang matanya yang kuyakin sedang menatapku dengan pandangan mengejek khas dia.
Tapi ternyata Ryan tidak sedang menatapku melainkan space kosong di dinding yang tadi digunakannya untuk memutar slide. Sesuatu dalam pandangannya membuatku diam.
Lama.
“I’m sorry. I just didn’t know what to say.” Ujarku pelan. “Really, this is ver..”
“And you don’t have to say anything.” Potongnya tenang. “The loud silence, Ava.That’s why there was no song. Nggak selamanya kita butuh musik.”
Detak jantungku mulai teratur.
“Ataupun kata-kata.” Lanjutnya.
Hatiku mulai terasa hangat. Kubiarkan hanya dia yang bersuara.
“Diam yang sederhana, diam yang menerima, untukku itu jauh lebih bermakna.”
Aku menyandarkan bahuku yang tidak lagi tegang.
“Untuk ada. Itulah yang terpenting diatas semuanya.”
Aku menyentuh tangannya yang melingkari sandaran kursiku, untuk merengkuhku dengan sebenar-benarnya.
Lalu sebelah tangan Ryan di bahuku terasa ada di tempat yang seharusnya.
“And keep this in mind:”, pintanya,”‘Easy’ is never my favourite way.”
Leeds, September 2009.
Comments
rame :D ada yg lain? mauuu :D
rame lah :D ada lagi? mau mau mauuu!! :)
miss kepala batu: :) cause you're that strong ;)
"L"asting
"L"ove
It's just too beautiful, your writing miss :D
Well, love the outro, love all your writings, keep writing miss :)
Always hoping the best for you
Sincerely,
Biggest Fans
saya penasaran sm kisah persahabatan kalian,kisah keluarga dan bagaimana akhirnya anda menikah,secara anda begitu membenci proses pernikahan yg menutut anda sangat ribet.hehehe
saya penasaran bgm anda bisa keluar dr bayang2 rei,
cerdas,mendidik dan fun,itu yg sy tau dr cr anda menulis.
tapi sy benar2 penasaran bgm si Ava bs lps dr byg2 Rei,dan seperti apa akhirnya dia menikah,scra dia bgitu benci proses pernikahan yg menurut dia spr ribet,trus kisah kim sm cardo gimana?si jenna jg gimana?bgm dgn persahabatan mereka?
Sy penasan siapa yg berhasl membuat ava berubah.hehe