Indonesia, Cinta dan Kita.
Setidaknya ada dua hal tentang Anda yang saya mengerti karena:
Saya juga, Pak.
Saya juga cinta Indonesia, Pak. Walaupun saya memilih sektor swasta, walaupun saya jarang bicara politik, walaupun saya tampaknya lebih peduli pada berbagai macam warna lipstik. Pengorbanan dan cita-cita saya buat tanah tempat saya lahir dan tumbuh ini mungkin tidak seberapa bila dibandingkan dengan pengorbanan dan cita-cita Bapak. Tapi dalam dunia saya yang mungil, cinta ini sangat dalam. Tak pernah surut dan selalu berhasil membawa saya pulang, sejauh apapun saya mencoba pergi.
Ibu saya pernah bertanya, tidakkah saya merasa berhutang pada negara ini? Karena di sinilah saya lahir dan perlahan jadi dewasa, di sinilah saya yang dulunya hanya wacana tak bernama, perlahan-lahan menjadi rencana dan kemudian betul-betul ada. Saya ingat saya tidak bisa bersuara waktu itu, karena tercekat. Mungkin itu kali pertama dalam kehidupan saya sebagai orang dewasa, saya menyadari bahwa saya teramat sangat mencintai tanah air kita ini, dengan segala lebih kurangnya, segala baik buruknya. "Merasa berhutang" mungkin bukan ekspresi yang tepat, saya hanya merasa bahwa yang telah, sedang dan akan saya lakukan dalam hidup saya sedikit banyak didasari oleh rasa syukur serta cita-cita tinggi untuk kebaikan saya dan saudara-saudara satu Ibu Pertiwi. Dalam kapasitas saya, Pak, saya juga cinta Indonesia.
Kedua: Saya juga benci kalah, Pak. Waktu di sekolah dasar saya adalah salah satu pelari tercepat di kelas III. Hanya ada satu orang yang terkadang lebih cepat dari saya, sebut saja namanya Krisna. Seminggu sekali, setiap hari Rabu sebagai pemanasan mata pelajaran olah raga, kami akan bertanding lari mengelilingi kompleks sekolah sebanyak 3 kali. Seisi kelas harus berlari, tapi yang menambahkan bumbu kompetisi di dalamnya hanya saya dan Krisna. Ada kalanya Krisna menang, kali lain saya yang akan menang. Suatu Rabu pagi sebelum pelajaran olah raga dimulai, Krisna menjegal saya sehingga saya jatuh dan kaki saya berdarah. Karena insiden tersebut saya harus istirahat di UKS, sementara Krisna melenggang tenang. Bertahun-tahun kemudian saya baru mengerti, tangisan meraung-raung pagi itu bukan disebabkan rasa sakit di kaki, tapi di hati.
Saya ingat Ibu Guru olah raga yang membujuk saya membiarkan perawat sekolah mengobati kaki saya sempat bertanya, "Sakit sekali, Kristy?"
Saya menggeleng. Tapi waktu beliau bertanya lagi, "Sedih karena nggak bisa lari, ya?" saya mengangguk, saya sedih karena tidak bisa lari, saya sedih karena kalah.
Jadi kemarahanmu, keluh-kesahmu, caci maki dan hilang kendali saat berkomunikasi dengan publik sangat saya pahami, saya juga benci kalah, Pak.
Tapi pagi itu Ibu Guru mengatakan sesuatu yang masih saya ingat sampai hari ini, "Ada yang lebih penting daripada menang-kalah dalam berkompetisi, yaitu caranya. Apakah kamu menang dengan jujur dan bermartabat, atau tidak? Apakah kamu kalah dengan jujur dan bermartabat, atau tidak? Menang atau kalah, apakah kamu mendapatkannya dengan jujur dan bermartabat, atau tidak?"
Saat itu saya belum terlalu paham apa itu artinya "jujur dan bermartabat." Tapi seiring waktu saya mengerti bahwa (mungkin) jujur dan bemartabat itu berarti tetap rendah hati dan selalu ingat, baik menang atau kalah, bahwa di atas sesuatu yang tinggi masih ada yang lebih tinggi. Jujur dan bermartabat itu berarti berani mendukung pemenang yang bukan kita dalam sebuah kompetisi. Ibu guru mengajari saya bahwa: menang atau kalah memang penting, tapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita mendapatkannya. Karena emosi kita karena kemenangan atau kekalahan hanya akan terasa sesaat saja, tapi usaha kita mendapatkannya yang mendefinisikan siapa kita yang sebenar-benarnya: jujur dan bermartabat, atau tidak.
Jadi Pak, itu saja. Saya juga cinta Indonesia dan saya juga benci kalah. Tapi di antara kedua hal itu, yang lebih besar dalam diri saya adalah cinta saya pada negara kita, cinta yang hanya akan saya berikan padanya dengan jujur dan bermartabat.
Semoga Bapak juga, semoga dalam hal ini, kita sama.
Salam,
Kristy
Comments