"Saya tidak pernah menangis."
Mungkin saat itulah hatiku dengan resmi mensahkan label untuk dosen Prilaku Organisasi dan Pemasaran yang satu ini: SOMBONG.
Bertemu orang sombong bukan sesuatu yang baru untukku, please. Ini tahun 2011, revolusi informasi yang ketiga masih belum selesai, orang masih mabuk sosial media, dimana apa yang disebut 'sindrom aku' sedang merajalela. Katanya orang jadi pintar bereskpresi tanpa tahu cara mengapresiasi. Kecuali mengapresiasi diri sendiri tentu, jenis ini banyak adanya. Kalau kata para ustad mereka ini 'termasuk golongan orang-orang yang tinggi hati.'
Tapi pria yang sekarang sedang meminta kami untuk menjelaskan batas antara reward and punishment ini adalah orang dengan penyakit sombong yang akut. Banyak bukti, salah satunya adalah tatapan sinisnya sewaktu dia masuk kelas dan berkata dengan penuh gaya "Reward and Punishment!" dan aku menjawab "Dostoevsky!"
Aku balas menatapnya, hampir bertanya dengan gaya yang tidak kalah asyik, apakah dia tahu siapa itu Dostoevsky waktu Dinda menyikutku, "Udah deh kamu tu, nggak penting."
"Sebel gue liat gayanya, model begini ni yang minta dipukulin emang."
Dinda mendesah putus asa, menyentuh keningnya yang dibingkai rambut lembut berwarna cokelat tua, "Preman."
"Percuma jadi ahli perilaku organisasi dan pemasaran yang terkenal seantero Indonesia kalau kelakuannya macam Diva begitu," aku masih ngomel. "Kesombongan dia yang paling absolut adalah waktu dia bilang dengan tenang di kelas pertama kita dulu itu: Saya tidak pernah menangis. Sombong dan bego, masa waktu bayi dia nggak pernah nangis sih? Mikir dong mas, kalau lo keluar dari perut ibu lo kagak nangis berarti lo mati dalam kandungan dooooong."
"Maksudnya dalam hidup dia sebagai orang dewasa, kali."
Aku mendesis gemas, "Dewasa dari Hongkong. Mana ada orangd ewasa kelakuannya kaya gitu. Dia tu punya kesomongan khas abg tau nggak, Din. Gue heran kok bisa ada perempuan yang mau nikah dan punya anak sama dia ya."
Dinda diam saja, masih menunduk dan sibuk dengan sketsa abstrak dalam buku catatannya. Dinda suka menggambar, walau sejujurnya aku tidak pernah mengerti bentuk-bentuk yang dia ciptakan dengan rapido kesayangannya itu, "Lo tu harusnya waktu itu bales Din, waktu dia ngomong kalau dia nggak pernah nangis."
"Bales apa?"
"Bales: Saya nangis tiap hari pak!"
Diluar dugaanku, Dinda hanya tersenyum sekilas, lalu kembali ke gambar misteriusnya itu. Tidak ada penolakan atau balasan 'daripada lo marah-marah tiap hari' seperti yang biasanya terjadi kalau aku mengejek sisi melankolisnya yang agak berlebihan itu.
"Din."
"Hm?"
"Lo tu kenapa sih pendiem banget udah dua minggu, makin hari makin parah. Trus muka lo..."
"Kenapa muka gue?" Dinda hanya mengangkat kepalanya sedikit, lalu kembali menunduk.
Aku bingung mencari ungkapan yang pas, "Ya gitu deh, kaya yang mules gitu. Tadinya gue pikir lo sakit perut, tapi masa sakit perut sampai dua minggu?"
"Ngaco deh lo, gue nggak sakit perut."
"Lah, trus? Marah sama gue ya?"
"Ngapain marah sama lo mah, percuma."
Aku manggut-manggut, "Iya juga sih..."
"Gue nggak pa-pa," tandas Dinda dan sesuatu dalam suaranya membuatku memutuskan untuk berhenti bertanya.
Tapi jadinya aku dihantui pertanyaan Ada Apa dengan Dinda? selama sisa perkuliahan. Si mas Sombong terus ngoceh seperti orang yang kebanyakan energi, tapi pikiranku malah terfokus pada Dinda yang terlalu diam seolah kehabisan tenaga.
Berteman dengan Dinda selama lima tahun, sebetulnya aku tahu bahwa memang ada yang tidak biasa sejak kira-kira dua minggu yang lalu. Walaupun pendiam dalam keramaian, jika bersamaku Dinda biasanya banyak bercerita. Tapi sejak dua minggu lalu ceritanya hanya sedikit dan tidak menarik, lebih tampak seperti usahanya untuk terlihat normal. Wajahnya kuyu seperti kurang tidur dan seringkali aku harus mengulang pertanyaanku untuk mendapat jawaban, jawabannya pun tidak akan lebih dari satu kalimat pendek.
Tiba-tiba aku tersadar bahwa si Sombong memanggil namaku. Tampaknya sudah berulang kali karena sekarang seisi kelas menatap ke arahku.
Dinda berbisik, "Liat gambar yang ada di screen."
Tatapanku berpindah ke screen, ada gambar sepasang tangan bergandengan yang diambil dari dekat. Latar belakangnya awan kelabu dan ada bulir-bulir hujan. Aku tahu bahwa ini adalah gambar suatu iklan service provider yang merknya aku lupa, tapi pertanyaannya sekarang adalah:
So what? Kok lo bisa sih pindah dari bahasan reward and punishment ke iklan service provider? You freak.
Aku menatap Dinda meminta penjelasan lebih lanjut dan Dinda sudah hampir meneruskan perintahnya sewaktu si Sombong bersuara, "Makanya perhatikan."
Belum sempat aku memutuskan gaya apa yang akan kugunakan untuk memukul orang ini bertubi-tubi seusai kuliah nanti, si Sombong sudah bersuara lagi, "Iklan service provider ini punya tagline get connected yang menurut saya kurang pas."
Sok banget deh lo mas.
"Jadi yang sekarang saya minta adalah kalian untuk memikirkan tagline yang lebih personal dan berhubungan dengan gambar ini."
Aku mengangguk mengerti, "Sebentar ya pak, saya mikir dulu."
Si Sombong tersenyum tidak ramah, "Silahkan, kamu punya waktu berpikir selama kamu berjalan dari kursi kamu ke white board ini. Lalu tulis tagline terbaik yang bisa kamu pikirkan."
Aku yakin sekali tatapannya itu tatapan mencemooh, pasti dikiranya aku akan menulis kalimat-kalimta konyol seperti kurang lebih 10 teman sekelasku yang rupanya sudah dipanggil lebih dulu dan menulis tagline mereka di white board tersebut.
Si Sombong tidak berkomentar waktu aku menulis Never too Far, tapi paling tidak senyum sok sinis yang konyol itu tidak lagi tampak di wajahnya.
Empat orang berikut yang dipanggil menghasilkan gumaman-gumaman putus asa dari si Sombong yang berdiri di dekat pintu dengan daftar absen di tangannya.
"Din nanti lo mau nulis apa?"
Sebelum Dinda menjawab namanya sudah dipanggil si Sombong. Dia berdiri dan melangkah mantap ke depan kelas, mengambil spidol berwarna merah, bukan hitam seperti yang lain, dan mulai menulis. Kepalanya menghalangi pandanganku, tapi waktu Dinda melangkah kembali ke kursinya aku melihat dengan jelas apa yang tertulis disana dalam tinta merah.
I miss you always. All ways.
Tidak ada komentar. Seperti yang sudah-sudah, si Sombong membaca kalimat tersebut, menimbang sejenak, lalu sepertinya memutuskan bahwa kalimat Dinda cukup baik karena kemudian dia memanggil nama mahasiswa berikutnya, yang kembali menggunakan spidol warna hitam.
Sampai kelas selesai, pikiranku kembali ke Dinda. Menimbang-nimbang apakah sebaiknya aku kembali memaksa dia menceritakan masalahnya, atau menunggu saja hingga dia cerita dengan sendirinya.
Aku mencolek bahunya, "Makan yuk."
"Sushi, ya?" mata Dinda berbinar sedikit. Kadang dia bisa sangat naif, berharap aku akan menelan gumpalan nasi lengket dengan potongan ikan mentah itu sama saja berharap Jakarta terbebas dari kemacetan.
Aku membuat suara ingin muntah, "No way!"
"Lo tu nggak usah makan sushi nya, kan ada makanan lain juga," Dinda menggerutu, tapi tampak tidak terlalu berusaha merubah penolakanku.
Aku tidak menjawab karena baru menyadari sesuatu, "Yahh, catetan gue ketinggalan, Din! Bentar yak."
Setengah berlari, aku menaiki tangga ke lantai dua dan mendekati ruang R1 di pojokan. Pintunya tertutup, tapi lampunya masih menyala.
Aku hampir saja menekan gagang dan menendang daun pintu ruang tersebut hingga terbuka waktu melihat sosok si Sombong masih ada disana. Dia sedang berdiri menghadap white board dengan menggenggam penghapus di tangan kanan. Sepertinya dia baru menghapus tulisan tagline karya kami tadi.
Dia tidak bergerak sama sekali, diam menatap white board yang sudah bersih itu. Hanya dadanya bergerak teratur, tapi dalam jeda yang terlalu lama, seolah dia perlu tenaga ekstra untuk bernafas.
Sesuatu dalam gerak-gerik si Sombong membuatku mengurungkan niat dan diam-diam memperhatikannya. Dengan takjub aku menyadari bahwa bukannya tampak sombong, dia malah tampak sangat ... sedih.
Setelah beberapa menit yang terasa sangat lama, dia bergerak sedikit. Tangan kirinya mengeluarkan smartphone dari saku kemeja dan mengarahkan kameranya ke white board.
Waktu itulah aku menyadari bahwa masih ada satu baris kalimat disana yang belum dihapus. Dalam tinta merah.
Si Sombong sepertinya sudah memotret baris tersebut dan sekarang melangkah satu kali mendekati white board. Pelan-pelan dihapusnya kalimat tersebut dari kiri ke kanan, lalu berhenti setengah jalan.
All ways.
Nafasnya terhela sekali lagi sebelum dengan kasar dia menghapus huruf-huruf yang tersisa. Lalu dia membereskan barang-barang yang berserakan di atas meja, mencangklong postman bag yang selalu digunakannya sejak awal semester, dan meraih jas yang tersampir di sandaran kursinya.
Dia hampir melangkah, tapi tidak jadi: malah terduduk lemas di kursinya.
Mataku tidak berkedip melihat butir-butir air mata yang semakin deras membasahi wajahnya. Sesekali dia mencoba bernafas, sedikit menengadah mungkin karena sesak. Tangan kanannya terangkat untuk memijat kening, sikunya bertumpu pada meja.
Terus begitu untuk waktu yang cukup lama.
Mungkin untuk kali pertama dalam hidupnya sebagai orang dewasa.
***
Dinda masih di tempat yang sama waktu aku kembali, matanya membelalak tidak sabar, "Lo ngambil buku catetan atau tidur siang sih?"
Aku terkekeh, tidak tahu harus menjawab apa. Kurangkul bahunya dengans edikit terlalu kencang, "Yuk makan sushi."
Dinda berusaha melepaskan diri dari cekikan lenganku, "Mana buku catetan lo?"
Sebelum aku menjawab dia baru sadar apa yang kukatakan sebelumnya, "Eh, apa tadi lo bilang? Makan sushi?"
Aku mengangguk, "Iya yuk, apa aja deh biar lo senengan dikit."
Kukatakan pada Dinda bahwa pintu kelas sudah dikunci dan aku harus mencari-cari penjaga kampus yang tidak juga berhasil kutemui akhirnya.
Seiring waktu, Dinda berangsur-angsur kembali normal, kembali tertawa, kembali banyak cerita. Satu yang tidak pernah dibicarakan Dinda adalah sikap diam dan wajah letihnya dulu.
Yang rasanya tidak perlu.
Comments
and like always
it's great :)))
@ "berpikir Wink": You're sweet, thanks :))
keren as always. All ways ;))