Fuck you, life.

"Buat apa hidup kalau nggak ambil resiko?"

Lama Karina menatap mata sang sahabat, dan mengangguk akhirnya. Mantap. Benar juga, buat apa hidup kalau tidak memperjuangkan apa yang dia anggap benar. Kalau tidak melakukan apa yang harus dilakukan. Apapun resikonya.

Perempuan berambut cokelat sebahu itupun turun dari mobil sedan hitam berkaca agak gelap tempatnya meragu sejak dua puluh menit yang lalu dan menutup pintu sambil berkata, "Wish me luck."

"Luck!"

Melalui kaca berhias ornamen spanyol warna-warni pada pintu cafe kecil itu Karina bisa melihat sosok yang tadi malam mengganggu tidurnya. Sosok yang selalu mengganggu tidurnya.

Melangkah mendekat, dia menyentuh tengkuk Renaud menggunakan punggung jemarinya, lalu memberi pijatan lembut sambil menyapa, "Hi, R."

R dalam pelafalan bahasa Inggris, ar, hanya Karina yang memanggil Renaud begitu. Juga, hanya Karina yang bisa menyentuh Renaud seperti itu. Karina dan Karina selalu.

Laki-laki berperawakan sedang dengan kulit putih dan rambut cepak itu tidak langsung bergerak, meresapi keberadaan jemari Karina yang memeluk tengkuknya kini, lalu kecupan sekilas di puncak kepala Renaud. Detak jantungnya masih saja melompat, bahkan kini, hampir empat bulan sejak mereka dekat.

Kemudian setelah nafasnya terhela panjang, Renaud akhirnya medongkak, mencari mata Karina. Menemukannya bersamaan dengan hidung dan bibir mungil yang membentuk senyum kesukaan Renaud, "Hi, my K."

K dalam pelafalan bahasa Inggris, key, hanya Renaud yang memanggilnya begitu. Juga hanya Renaud yang bisa menghangatkan hati Karina dengan tatapannya yang lugu.

Kadang bahasa Renaud terlalu rumit, terutama untuk Karina yang cinta sastra dan benci IPA. Kala perdebatan mereka sudah mulai dimuati rumus-rumus Renaud, seringkali Karina diam saja menatap matanya. Waktu Renaud akhirnya berhenti bicara Karina akan berkata, "At least I could understand how you feel from your eyes, R. They're so sincere. As for your words..I've stopped listening since 15 minutes ago."

Tatapan mata Renaud bisa dipahami oleh Karina. Karina tidak bisa jelaskan kenapa, rasa percaya itu muncul begitu saja. Begitu saja.

"Caramel machiatto?" Renaud menarik kursi untuk Karina dan tanpa menunggu konfirmasi melambaikan tangan pada barista di balik konter kopi, "Satu tall caramel macchiatto ya."

Karina tidak membantah, duduk merapatkan pashmina hitamnya sambil melirik cangkir Renaud yang isinya sudah berkurang seperempat. Pasti Americano.

Formasi yang sama sejak kopi bersama pertama dulu, Caramel macchiatto untuk Karina, Americano untuk Renaud.

"You're too bitter that I need something sweet to balance my mind," ujar Karina suatu hari.

"You're too naïve and sweet that I need something bitter to keep me sane," balas Renaud.

Jelas-jelas Americano tidak memberi efek yang diinginkan Renaud, karena hingga kini Renaud masih juga belum waras. Dia masih gila dan dengan bangga mengakuinya.

Tergila-gila pada Karina, dengan berani menamakan apa yang dirasanya sebagai: cinta. Sesuatu yang tak pernah Karina bantah, karena diapun merasakannya juga.

Sepasang mata Karina mengawasi Renaud yang sedang membayar dan menunggu sang barista selesai membuatkan kopinya. Teringat lagi pembicaraan dengan sahabatnya tadi, mengenai kedekatannya dengan Renaud yang sudah harus diakhiri.

"Karina sebesar apapun perasaanmu untuk dia, kamu harus tetap ingat bahwa dia...?"

Karina sempat diam saja, tidak mau memberikan apa yang sang sahabat inginkan: agar Karina menyelesaikan kalimat tersebut. Agar Karina mengucapkan sendiri kenyataan yang tidak menyenangkan itu.

Agar Karina sadar bahwa dia bisa mengatakannya, meski sakit.
Dia bisa menelannya, meski pahit.
Dia bisa, dia sudah dewasa.

Sejenak Karina menentang tatapan lawan bicara dihadapannya, tatapan yang tanpa ragu sedikitpun, lalu sambil mendesah kesal dia menyerah, "Bahwa dia berkeluarga.Happy?"

"Good girl," sahabatnya mengangguk puas. "Nah, kamu sudah mencoba semua cara; bicara baik-baik, menghilang, bicara dengan nada keras. Betul?"

Karina mengangguk, "Aku sudah mencoba semua cara, dan kita bertemu masih saja."

"Oke, kita coba cara terakhir kalau gitu."

Karina menatap sahabatnya, tak percaya, "Are you serious?"

"As serious as hell."

Wangi caramel macchiatto menyeruak dari cangkir yang diletakkan Renaud dengan hati-hati dihadapannya, menghentikan percakapan dengan sang sahabat dalam benak Karina. Karina merenungi gurat-gurat karamel di permukaan busa putih dalam cangkir dan menyadari bahwa belakangan, minuman tersebut memiliki asosiasi tertentu dengan Renaud. Tanpa menengadahpun Karina bisa membayangkan Renaud dengan jelas dan detil: duduk menyesap kopi Americano, memperhatikan gerak-gerik Karina dengan seksama. Dengan seulas senyum di matanya.

Sebelum Karina mengangkat kepala, sekelebat warna biru-merah tiba di samping cangkirnya.

Sebuah buku. Dalam huruf-huruf berwarna putih, tertulis judul buku tersebut sekaligus nama penulisnya:


Nine Stories-J.D Salinger


Tanpa bisa ditahan, senyum Karina mengembang, "Thank you, R. Been thinking about this book for quite a while."

Renaud mengangguk, "I know."

Dalam hatinya Karina mengerang putus asa, satu-satunya orang yang memahami apa yang Karina ingin baca adalah Renaud. R-nya. R-nya yang sebentar lagi harus jauh.

Hanya hidup yang memiliki selera humor seaneh ini. Bisa membuat pemirsa ingin tertawa dan menangis dalam satu waktu. Bisa membuat Karina mengatakan kalimat berikutnya,
"Leave her."

walau dalam hatinya Karina hanya ingin diam dan menikmati kebersamaan mereka.


Bisa membuat Karina mengatakan,
"Leave her, be with me. We're in love, and we're so good together."

walau dalam hatinya Karina hanya ingin diam dan menikmati kebersamaan mereka. Tanpa merumitkan segalanya, tanpa mengingat kenyataan bahwa dia akan selamanya jadi perempuan kedua.

Menciptakan badai hebat yang hampir membunuh Renaud dengan melanjutkan,
"Leave her, or leave me."

walau sebetulnya dia hanya punya satu keinginan sederhana: kebersamaan mereka, apapun caranya.

Tanpa suara Karina berdo'a,
Bertahanlah, R. Jangan mati. You can do this. We can do this.

Renaud terpaku sejenak, lalu matanya mengerjap, "Karina?"

Karina berharap perih yang begitu menyengat itu tidak tampak di wajahnya. Sekuat tenaga diaturnya tarikan nafas agar tetap konstan, juga panas yang menjalar dari suatu tempat di dada menuju kedua mata, agar tidak terlalu cepat tiba. Dia tahu bahwa kali ini Renaud akan mengambil keputusan yang bijaksana.

Dalam jumpa perdana dahulu tidak ada yang istimewa, Renaud-Karina bukanlah cinta pada pandangan pertama. Sampai suatu hari Karina membaca kartu nama Renaud berkata, "Mais tu t'appelle pas Reno. C'est Renaud, non?"

Renaud sedikit terkejut. Hanya sedikit, dia selalu curiga akan ada sesuatu dalam perempuan itu yang dapat menarik perhatiannya, "I didn't know you speak French."

"A bit. But your name, I know what that means: A wise ruler," jawab Karina. "Nama yang bagus, semoga kamu memang sebijaksana itu, Renaud. Orang bilang nama adalah do'a."

"Nama itu lebih cocok disebut beban buat sang anak," bantah Renaud tertawa.

Karina mengangkat bahu saat itu, "Bisa juga sih. Tergantung cara pandang kita. We can always choose how to see things."

Renaud mengangguk, setuju dan tahu: Karina akan menjadi satu dari sedikit orang penting di hidupnya.

Tentu saja. Seperti dia untuk Karina.

"I don't believe you. You didn't mean it," ujar Renaud kini. Suaranya seperti orang tercekik.

"What if I do, R?" Tukas Karina menatap mata Renaud dalam-dalam, untuk meyakinkannya.

Karina menatap mata Renaud dalam-dalam untuk meyakinkan Renaud sesuatu yang sama sekali tidak diyakini Karina.

Diam.

"Make your decision now, R. I'm serious."

Diam.

Karina meraih smart-phone Renaud yang tergeletak di meja dan menyodorkannya ke arah Renaud, "Here. I'll count till 30, then you'll make your choice: call her and I'll stay-dont call her and I'll go."

Karina menggeleng sesaat setelah kalimat tersebut terucap, "No." Telah berulang kali ia meninggalkan Renaud dan Renaud selalu punya cara untuk menemukannya. Renaud selalu punya cara untuk kembali memiliki Karina. "Call her and stay. Don't call her but go. Ready?"

Itulah 30 hitungan terlama dalam hidup Karina dan Renaud. Dengan gugup mereka berdua menyesap kopi masing-masing beberapa kali. Sampai akhirnya 30 hitungan tinggal tersisa tiga.

Dua.

Satu.

Smartphone milik Renaud tetap tergeletak diatas meja, tak ada yang bersuara. Tapi betapa keduanya telah menyampaikan semua yang hati dan pikiran mereka rasa. Tanpa kata, sejujur yang mereka bisa.

Kejujuran yang brutal dan tega.

Brutal dan tega.




Karina tetap duduk di meja tersebut berjam-jam setelah Renaud pergi, hingga sang sahabat kembali dan duduk dihadapannya, "Karina."

"Hi," jawab Karina lemah. Berharap jangan ada pertanyaan apapun tentang yang terjadi, dia merasa terlalu lelah.

"Mau pulang?"

Melangkahlah mereka memasuki mobil hitam berkaca agak gelap tempat Karina meragu beberapa jam sebelumnya. Karina menarik sabuk penyelamat melintangi tubuh, lalu menyandarkan kepalanya yang berat, "I did it."

"Dan dia pergi?"

Karina mengangguk.

"Good, sesuai rencana. See, aku bilang juga nggak ada yang perlu ditakutkan, dia cukup pintar untuk melakukan hal yang benar. Ketakutanmu bahwa dia akan betul-betul meninggalkan istrinya sama sekali tidak beralasan, dia tidak sebodoh itu."

"Andai dia sebodoh itu," ujar Karina akhirnya. Matanya basah dan nafasnya tersengal.

Hanya hidup yang memiliki selera humor seaneh ini. Bisa membuat pemirsa ingin tertawa dan menangis dalam satu waktu. Bisa membuat Karina begitu bangga akan R-nya yang bijaksana. Sekaligus berandai-andai R-nya untuk bertingkah kekanakan untuk kali ini saja. Dalam satu waktu.

Bisa membuat Karina begitu bangga karena telah nekat melakukan hal yang dianggapnya benar. Sekaligus malu karena tahu dia akan selalu merindukan kesalahannya yang satu itu.

Dalam satu waktu.

Karina memejamkan kedua matanya, menarik nafas panjang. Dirasakannya mobil mulai bergerak meninggalkan tempat yang sudah pasti takkan didatanginya lagi untuk waktu yang lama.

Sang sahabat berkata pendek, "Say it."

Lalu Karina mengucapkan sendiri kenyataan yang tidak menyenangkan itu.
Karina sadar bahwa dia bisa mengatakannya,

"I love him. Like I never love before. But I did the right thing, and I will not regret. I will never let circumstances turn me into a criminal. Especially not in the name of love."

meski sakit.

Suaranya serak, tapi tak ada ragu lagi kini.

"Fuck you, life."

Dia bisa mengatakannya, meski sakit.
Dia bisa menelannya, meski pahit.
Dia bisa, dia sudah dewasa.

Comments

aRee said…
Cause fighting with your own heart surely ain't an easy job..and a lifetime job..*sighed
tiieee said…
damn, I really love this writing!
dibaca berkali-kali pun ngga bosen :D

setelah baca pasti pengen bilang, Fuck you, life. :D
Anonymous said…
you are damn good mbak...
Anonymous said…
You are so damn good mbak...

Popular Posts