Mungkin
Sebuah tulisan yang baru saya baca membuat saya bernostalgia tanpa sengaja.
Fiksi tersebut baru saya terima pembukanya saja, tentang seorang remaja perempuan yang merasa rendah diri karena dia tidak secantik adik sepupunya, tidak sepintar kakaknya dan diatas semua itu: tidak pernah diajak masuk geng anak-anak popler di sekolahnya.
Cliché.
Entah kenapa sebelum saya membaca tulisannya saya kira anak-anak kategori ABG sedang menjalani hidup yang jauh lebih sederhana dari yang kita, the late twenties, jalani.
Yeah, safe that “kita? Lo doang kali, Kris” line for later you younger people who happen to read my blog! Grrrrr.
Sifat dasar, saya rasa. Kita terus menerus berkeluh kesah betapa rumitnya hidup kita-kita ini yang, pertama, harus menghidupi diri sendiri. Beberapa ada yang sudah menambahkan “dan keluarga” di kalimat tersebut, saya cukup beruntung karena hanya bertanggung jawab menjaga diri saya, tok. Kedua, pertanyaan “apakah saya sudah melakukan apa yang ingin saya lakukan dalam hidup?” dan sebagainya.
Oh betapa beratnya hidup.
Begitu batin kita nyaris setiap pulang kantor. Di tengah kemacetan kota Jakarta dan serbuan e-mail tanpa henti dari bos tercinta.
Sampailah tulisan itu di inbox e-mail pribadi saya hari ini. Secara teknis mungkin banyak yang bisa dipoles, tapi secara emosional tulisan itu begitu menyentuh.
Okay, mungkin saya agak subjektif karena yang menulis fiksi tersebut adalah adik sepupu saya,sebodo ah. I don’t believe in objectivity anyway.
Kembali ke tulisannya, dengan mudah saya terbawa lagi ke masa lalu, jaman saya masih mengenakan seragam putih biru. Saya hanya bisa bilang bahwa sayapun pernah mempertanyakan hal-hal serupa. Kenapa si A jauh lebih cantik mempesona, kenapa si B jauh lebih pintar dari saya, kenapa saya tidak diajak masuk geng mereka. Kenapa semua anggota keluarga saya prestasinya luar biasa, sementara saya harus kerja keras hanya untuk bisa mencapai rata-rata.
It’s not cliché, it’s tough.
Dalam salah satu bagian di cerita itu, si tokoh utama merasa begitu bingung dan kelelahan memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak habis-habis itu hingga dia selalu tidak sabar menantikan waktunya tidur dan mandi.
Katanya dia senang karena di saat-saat itulah dia betul-betul sendirian tanpa takut dibanding-bandingkan, tanpa takut dipertanyakan. Tanpa harus menghadapi kenyataan yang rasanya tidak adil untuk dia.
Coba deh bayangkan: mempertanyakan keadaan di usia semuda itu. Dia baru akan masuk SMP bulan depan, umurnya baru…11 tahun. Awalnya saya berpikir, ah memang dia masih terlalu muda, baru sedikit dia melihat dunia luar untuk membuktikan bahwa hidup itu adil.
Hanya saja waktu kemudian saya mencoba mengingat-ngingat pengalaman saya sendiri, untuk bisa mengira-ngira kapan dia akan bisa cukup pengalaman untuk melihat bahwa dunia, hidup atau apapun itu adalah adil adanya, saya terkejut. Karena saya tidak berhasil menandai kapan tepatnya saya berhasil menemukan fakta bahwa keadilan itu eksis.
Saya tidak akan bicara soal definisi atau konsep keadilan, selain akan terlalu jauh, serius dan membuat depresi, saya rasa saya bukan orang yang tepat untuk bicara soal itu.
Tapi menanggapi “Apa ada faktanya bahwa keadilan itu ada?”, ada beberapa jawaban yang bisa diberikan: Ada, tidak ada dan mungkin.
Tepat saat menulis ini saya teringat sebuah kalimat tulisan Woody Allen dalam salah satu filmnya yang berjudul Hannah and Her Sisters. Dalam film itu Mickey Sachs, seorang pria kuli media yang diperankan oleh Woody Allen sendiri tiba-tiba mempertanyakan Tuhan sejak mengalami sesuatu yang nyaris membuatnya bersinggungan dengan kematian. Di pencariannya, Mickey menjadi frustrasi karena sebagai seseorang yang logis, dia memerlukan bukti bahwa Tuhan itu memang ada.
Di satu titik dia merasa begitu frustrasi sampai-sampai dia memutuskan untuk bunuh diri. Sambil menodongkan pistol ke kepalanya, Mickey mengalami perdebatan terakhir dengan dirinya sendiri. Perdebatan dibukanya dengan, tentu saja, mengkaji ulang alasan kenapa dia ingin bunuh diri.
"I need some evidence, I gotta have proof. If I can't believe, life isn't worth living.", katanya.
Lalu sebuah suara lain yang bisa kita asumsikan sebagai bagian dirinya yang lain, atau Tuhan, atau malah setan dan sebagainya, menjawab dengan panik bahwa mungkin saja Tuhan itu sebetulnya ada.
“No. 'Maybe' is not good enough. I want certainty or nothing."
Keraguan itu semakin menguat sampai-sampai karena terlalu tegang, Mickey tanpa sengaja menarik pelatuk pistol yang digenggamnya. Untung, karena dia terlalu berkeringat, mulut pistol meluncur dari keningnya dan pelurupun melesat melubangi tembok apartemen, gagal membuyarkan otak Mickey.
Heboh, tentu. Tetangga, polisi dan konco-konconya menggedor-gedor pintu apartemen. Kaburlah Mickey, berjalan kaki untuk mendinginkan kepala, sulit mempercayai bahwa dia hampir saja bunuh diri. Singkat cerita dia berhasil menenangkan diri dan duduk di dalam sebuah bioskop yang memutarkan sebuah film klasik yang sering ditontonnya sejak ia masih anak-anak.
Perlahan-lahan Mickey mulai merasa lebih baik. Setelah hampir merengut nyawanya sendiri, dia baru sadar bahwa belum ditemukannya fakta bahwa Tuhan itu ada tidak berarti hidupnya sia-sia.
"I know 'maybe' is a slim reed to hang your life on, but it's the best we have"
Sekilas kalimat tersebut terdengar seperti menyerah pada nasib, atau yang orang bilangsettling for the second best.
Saya sendiri lebih melihatnya sebagai kemurahan hati Mickey Sachs yang memberi hidup dan juga dirinya sendiri, kesempatan. Kesempatan pada hidup untuk menyampaikan fakta bahwa Tuhan itu ada dan kesempatan pada dirinya sendiri untuk bisa percaya, walaupun mungkin masih lama.
Sementara tentang fakta keadilan yang tentu sangat berhubungan dengan fakta tentang Tuhan, kalau sampai adik sepupu saya ini bertanya pada saya, belum ada fakta keadilan tak terdebat yang bisa saya berikan.
Faktanya adalah kita hidup di masa seorang penyanyi masuk penjara karena video mesum sementara para pejabat korupsi bisa ongkang-ongkang kaki. Kita hidup di masa anak orang penting bisa mendapat perlakuan khusus sementara anak orang biasa harus kerja ekstra keras untuk mendapat kesempatan dan penghargaan yang setara.
Masih banyak keluh kesah/kebingungan lain yang kalau dipikir-pikir tidak ada bedanya dengan yang sedang berkecamuk di kepala adik sepupu saya itu. Saya ingat dulu saya selalu menenangkan diri saya dengan berulang-ulang berkata “Nanti juga ngerti kalau udah gede.”
Waktu akhirnya berhasil jadi gede dan belum juga mengerti saya berkata “Sebentar lagi.”
Sampai akhirnya saya lupa dan baru teringat lagi pagi ini. Pertanyaan barupun muncul: Mana yang lebih penting waktu kita bicara keadilan (atau Tuhan), untuk menemukan fakta ataumencoba percaya?
Sepertinya kedua hal itu penting.
Ah, lagi-lagi dualisme. It’s more like a win-win solution to me.
Sisi rasional kita terlatih untuk mengumpulkan fakta lebih dahulu sebelum mempercayai sesuatu. Tapi untuk hal-hal tertentu, hal-hal spesial, mungkin kita harus percaya dulu sebelum akhirnya mampu melihat fakta-fakta yang ada.
Naif? Memang.
Saya rasa kenaïfan juga perlu dilatih, karena kalau tidak rasa sia-sia diikuti keinginan untuk bunuh dirilah yang akan muncul. Dengan mudah kita, seperti Mickey, akan lupa bahwa sebetulnya perkara hidup sia-sia atau tidak, itu kita yang menentukan. Mau berguna atau tidak, itu kita yang menentukan. Mau melakukan sesuatu atau hanya berdiam diri, itu kita yang menentukan.
Mau terus menerus memikirkan kelebihan orang lain dan kekurangan kita, atau mengembangkan kelebihan kita dan hidup lebih bahagia, itu kita yang menentukan.
De, kakak nggak jamin nantinya kamu akan menemukan fakta bahwa hidup itu adil, karena kita ini juga belum tentu ngerti arti adil itu apa. Belum lagi pengertian setiap orang yang mungkin sekali sangat berbeda. Jadi untuk sekarang ini kita percaya saja bahwa semuanya adil, itu dulu. Mungkin nanti kita akan melihat faktanya, mungkin fakta-fakta itu akan membuat kita nggak lagi percaya, mungkin juga kita akan berhenti bertanya-tanya, kemudian lupa, karena kita terlalu sibuk melakukan hal-hal yang nyata. Mungkin suatu hari nanti kita akan melihat ke belakang dan bersyukur bahwa kita pernah belajar untuk percaya tanpa fakta.
Dan mungkin kita akan tertawa waktu ingat bahwa suatu waktu dulu kita pernah ingin tidur saja, demi kesendirian yang sederhana.
Semoga kita tertawa.
Jakarta, July 2010
Fiksi tersebut baru saya terima pembukanya saja, tentang seorang remaja perempuan yang merasa rendah diri karena dia tidak secantik adik sepupunya, tidak sepintar kakaknya dan diatas semua itu: tidak pernah diajak masuk geng anak-anak popler di sekolahnya.
Cliché.
Entah kenapa sebelum saya membaca tulisannya saya kira anak-anak kategori ABG sedang menjalani hidup yang jauh lebih sederhana dari yang kita, the late twenties, jalani.
Yeah, safe that “kita? Lo doang kali, Kris” line for later you younger people who happen to read my blog! Grrrrr.
Sifat dasar, saya rasa. Kita terus menerus berkeluh kesah betapa rumitnya hidup kita-kita ini yang, pertama, harus menghidupi diri sendiri. Beberapa ada yang sudah menambahkan “dan keluarga” di kalimat tersebut, saya cukup beruntung karena hanya bertanggung jawab menjaga diri saya, tok. Kedua, pertanyaan “apakah saya sudah melakukan apa yang ingin saya lakukan dalam hidup?” dan sebagainya.
Oh betapa beratnya hidup.
Begitu batin kita nyaris setiap pulang kantor. Di tengah kemacetan kota Jakarta dan serbuan e-mail tanpa henti dari bos tercinta.
Sampailah tulisan itu di inbox e-mail pribadi saya hari ini. Secara teknis mungkin banyak yang bisa dipoles, tapi secara emosional tulisan itu begitu menyentuh.
Okay, mungkin saya agak subjektif karena yang menulis fiksi tersebut adalah adik sepupu saya,sebodo ah. I don’t believe in objectivity anyway.
Kembali ke tulisannya, dengan mudah saya terbawa lagi ke masa lalu, jaman saya masih mengenakan seragam putih biru. Saya hanya bisa bilang bahwa sayapun pernah mempertanyakan hal-hal serupa. Kenapa si A jauh lebih cantik mempesona, kenapa si B jauh lebih pintar dari saya, kenapa saya tidak diajak masuk geng mereka. Kenapa semua anggota keluarga saya prestasinya luar biasa, sementara saya harus kerja keras hanya untuk bisa mencapai rata-rata.
It’s not cliché, it’s tough.
Dalam salah satu bagian di cerita itu, si tokoh utama merasa begitu bingung dan kelelahan memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak habis-habis itu hingga dia selalu tidak sabar menantikan waktunya tidur dan mandi.
Katanya dia senang karena di saat-saat itulah dia betul-betul sendirian tanpa takut dibanding-bandingkan, tanpa takut dipertanyakan. Tanpa harus menghadapi kenyataan yang rasanya tidak adil untuk dia.
Coba deh bayangkan: mempertanyakan keadaan di usia semuda itu. Dia baru akan masuk SMP bulan depan, umurnya baru…11 tahun. Awalnya saya berpikir, ah memang dia masih terlalu muda, baru sedikit dia melihat dunia luar untuk membuktikan bahwa hidup itu adil.
Hanya saja waktu kemudian saya mencoba mengingat-ngingat pengalaman saya sendiri, untuk bisa mengira-ngira kapan dia akan bisa cukup pengalaman untuk melihat bahwa dunia, hidup atau apapun itu adalah adil adanya, saya terkejut. Karena saya tidak berhasil menandai kapan tepatnya saya berhasil menemukan fakta bahwa keadilan itu eksis.
Saya tidak akan bicara soal definisi atau konsep keadilan, selain akan terlalu jauh, serius dan membuat depresi, saya rasa saya bukan orang yang tepat untuk bicara soal itu.
Tapi menanggapi “Apa ada faktanya bahwa keadilan itu ada?”, ada beberapa jawaban yang bisa diberikan: Ada, tidak ada dan mungkin.
Tepat saat menulis ini saya teringat sebuah kalimat tulisan Woody Allen dalam salah satu filmnya yang berjudul Hannah and Her Sisters. Dalam film itu Mickey Sachs, seorang pria kuli media yang diperankan oleh Woody Allen sendiri tiba-tiba mempertanyakan Tuhan sejak mengalami sesuatu yang nyaris membuatnya bersinggungan dengan kematian. Di pencariannya, Mickey menjadi frustrasi karena sebagai seseorang yang logis, dia memerlukan bukti bahwa Tuhan itu memang ada.
Di satu titik dia merasa begitu frustrasi sampai-sampai dia memutuskan untuk bunuh diri. Sambil menodongkan pistol ke kepalanya, Mickey mengalami perdebatan terakhir dengan dirinya sendiri. Perdebatan dibukanya dengan, tentu saja, mengkaji ulang alasan kenapa dia ingin bunuh diri.
"I need some evidence, I gotta have proof. If I can't believe, life isn't worth living.", katanya.
Lalu sebuah suara lain yang bisa kita asumsikan sebagai bagian dirinya yang lain, atau Tuhan, atau malah setan dan sebagainya, menjawab dengan panik bahwa mungkin saja Tuhan itu sebetulnya ada.
“No. 'Maybe' is not good enough. I want certainty or nothing."
Keraguan itu semakin menguat sampai-sampai karena terlalu tegang, Mickey tanpa sengaja menarik pelatuk pistol yang digenggamnya. Untung, karena dia terlalu berkeringat, mulut pistol meluncur dari keningnya dan pelurupun melesat melubangi tembok apartemen, gagal membuyarkan otak Mickey.
Heboh, tentu. Tetangga, polisi dan konco-konconya menggedor-gedor pintu apartemen. Kaburlah Mickey, berjalan kaki untuk mendinginkan kepala, sulit mempercayai bahwa dia hampir saja bunuh diri. Singkat cerita dia berhasil menenangkan diri dan duduk di dalam sebuah bioskop yang memutarkan sebuah film klasik yang sering ditontonnya sejak ia masih anak-anak.
Perlahan-lahan Mickey mulai merasa lebih baik. Setelah hampir merengut nyawanya sendiri, dia baru sadar bahwa belum ditemukannya fakta bahwa Tuhan itu ada tidak berarti hidupnya sia-sia.
"I know 'maybe' is a slim reed to hang your life on, but it's the best we have"
Sekilas kalimat tersebut terdengar seperti menyerah pada nasib, atau yang orang bilangsettling for the second best.
Saya sendiri lebih melihatnya sebagai kemurahan hati Mickey Sachs yang memberi hidup dan juga dirinya sendiri, kesempatan. Kesempatan pada hidup untuk menyampaikan fakta bahwa Tuhan itu ada dan kesempatan pada dirinya sendiri untuk bisa percaya, walaupun mungkin masih lama.
Sementara tentang fakta keadilan yang tentu sangat berhubungan dengan fakta tentang Tuhan, kalau sampai adik sepupu saya ini bertanya pada saya, belum ada fakta keadilan tak terdebat yang bisa saya berikan.
Faktanya adalah kita hidup di masa seorang penyanyi masuk penjara karena video mesum sementara para pejabat korupsi bisa ongkang-ongkang kaki. Kita hidup di masa anak orang penting bisa mendapat perlakuan khusus sementara anak orang biasa harus kerja ekstra keras untuk mendapat kesempatan dan penghargaan yang setara.
Masih banyak keluh kesah/kebingungan lain yang kalau dipikir-pikir tidak ada bedanya dengan yang sedang berkecamuk di kepala adik sepupu saya itu. Saya ingat dulu saya selalu menenangkan diri saya dengan berulang-ulang berkata “Nanti juga ngerti kalau udah gede.”
Waktu akhirnya berhasil jadi gede dan belum juga mengerti saya berkata “Sebentar lagi.”
Sampai akhirnya saya lupa dan baru teringat lagi pagi ini. Pertanyaan barupun muncul: Mana yang lebih penting waktu kita bicara keadilan (atau Tuhan), untuk menemukan fakta ataumencoba percaya?
Sepertinya kedua hal itu penting.
Ah, lagi-lagi dualisme. It’s more like a win-win solution to me.
Sisi rasional kita terlatih untuk mengumpulkan fakta lebih dahulu sebelum mempercayai sesuatu. Tapi untuk hal-hal tertentu, hal-hal spesial, mungkin kita harus percaya dulu sebelum akhirnya mampu melihat fakta-fakta yang ada.
Naif? Memang.
Saya rasa kenaïfan juga perlu dilatih, karena kalau tidak rasa sia-sia diikuti keinginan untuk bunuh dirilah yang akan muncul. Dengan mudah kita, seperti Mickey, akan lupa bahwa sebetulnya perkara hidup sia-sia atau tidak, itu kita yang menentukan. Mau berguna atau tidak, itu kita yang menentukan. Mau melakukan sesuatu atau hanya berdiam diri, itu kita yang menentukan.
Mau terus menerus memikirkan kelebihan orang lain dan kekurangan kita, atau mengembangkan kelebihan kita dan hidup lebih bahagia, itu kita yang menentukan.
De, kakak nggak jamin nantinya kamu akan menemukan fakta bahwa hidup itu adil, karena kita ini juga belum tentu ngerti arti adil itu apa. Belum lagi pengertian setiap orang yang mungkin sekali sangat berbeda. Jadi untuk sekarang ini kita percaya saja bahwa semuanya adil, itu dulu. Mungkin nanti kita akan melihat faktanya, mungkin fakta-fakta itu akan membuat kita nggak lagi percaya, mungkin juga kita akan berhenti bertanya-tanya, kemudian lupa, karena kita terlalu sibuk melakukan hal-hal yang nyata. Mungkin suatu hari nanti kita akan melihat ke belakang dan bersyukur bahwa kita pernah belajar untuk percaya tanpa fakta.
Dan mungkin kita akan tertawa waktu ingat bahwa suatu waktu dulu kita pernah ingin tidur saja, demi kesendirian yang sederhana.
Semoga kita tertawa.
Jakarta, July 2010
Comments
my world has been fallen apart and I lost any reason to have any faith in anything. Your writing gives me new thoughts. Thank u for posting this...
saya barusan baca novelmu yg berjudul L
baru beberapa lembar, beberapa bab, dan balum tuntas, dan ga sabar menamatkannya minggu ini
thats really a damn-good-book
saya udah yakin bakal jg fans tulisan2mu
penggambaran detilnya keren, alurnya asik,
terus terang saya sudah punya rencana bikin cerita, dengan jalan cerita yang sedikit mirip, dan mendadak malu, bikinan saya jelas ga ada apa-apanya,musti berguru lebih baik lagi..
congrats eh selamat ya
ditunggu lagi karya2nya !
dan salam kenal
:)
Thanks for the kind comment about L, looking forward hearing from you after you finish it.
Salam kenal juga, plus hugs. :)